Tetapi, salah satu yang membuat Nando sedih adalah faktor pendidikan, terutama pendidikan dasar. Di banyak tempat, banyak anak-anak yang tak sekolah karena harus membantu orangtuanya bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara mereka yang mau sekolah, banyak yang harus tetap membagi waktu dengan membantu orangtua mencari nafkah. Akibatnya, banyak anak yang tertinggal secara kemampuan.
“Di Raijua, sudah jadi hal yang lumrah ada anak kelas 3 atau 4 SD belum bisa membaca,” ujarnya.
Dia kemudian dibantu Roni Pau Djema, penduduk setempat di Desa Ledeke, yang menyediakan rumahnya untuk menjadi markas Taman Baca GPS. Awalnya tidak mudah membawa anak-anak ke taman bacaan tersebut. Sebab, banyak orangtuanya yang masih melarang karena banyak anak setelah pulang sekolah membantu bekerja. Mereka juga takut nanti dipungut bayaran, dan sebagainya. Dia dan para relawan yang direkrutnya untuk membantu –terutama pemuda-pemudi gereja-- pelan tapi pasti, akhirnya berhasil meyakinkan mereka bahwa semuanya gratis. Tak bayar apa-apa.
Untuk menarik minat anak-anak, Nando mengadakan les bahasa Inggris, yang dibantu salah satu relawan Indonesia Mengajar, Eko Nugroho. Program ini ternyata membuat anak-anak antusias. Setiap Rabu, jumlah anak-anak yang datang semakin bertambah.
“Apa yang kami lakukan ini bukan untuk menyaingi sekolah-sekolah yang ada, tetapi membantu anak-anak yang mungkin tak mendapatkan bahan bacaan atau ilmu di dalam kelas formal,” jelas Nando.
Dia berterima kasih kepada banyak orang yang peduli, yang banyak mengirimkan buku-buku, baik buku pelajaran maupun buku bacaan anak-anak ke GPS.
Sedang asyik bercerita, Yulius Boni Geti datang. Dia memakai baju kotak-kotak warna hitam-putih. Ini untuk pertama kalinya saya ketemu Boni Geti. Padahal sejak masih di Jakarta, kami sudah saling kontak. Tapi ketika saya sampai di Sabu, dia masih sibuk meliput penghitungan suara Pemilu 2019 di KPU. Lalu kami bergabung bercerita bertiga.
“Saya senang bertemu Abang,” katanya sambil tersenyum saat kami bersalaman.
Angin laut yang terus datang, membuat suasana siang yang panas tetap terasa adem. Kami bicara banyak hal. Ada yang penting, ada juga yang tidak. Seringnya malah berganti topik ketika topik yang satu belum selesai.
Sebelum senja datang dan kami keluar dari bungalow di Pantai Napae, masih terdengar di telinga saya ketikan Nando berucap, "Suatu saat, saya akan berjuang bisa menjadi pemimpin di sini. Dengan begitu saya bisa bekerja dan mengambil kebijakan bagaimana membuat masyarakat Sabu Raijua sejahtera secara ekonomi dan tetap menjalankan adat-istiadat mereka dengan tenang..."
Lalu kami berjalan keluar gerbang dan menuju sepeda motor masing-masing. (bersambung)