Meskipun bersatus aparatur sipil negara (ASN), Jefrison Hariyanto Fernando tetap kritis terhadap pemerintah jika memang salah. Akibatnya, dia sering dipindahtugaskan oleh atasannya. Terakhir, dia dipindah jauh ke Pulau Raijua. Tapi di sana, dia tetap kritis dan kreatif.
Oleh Hary B Koriun
JEFRISON Hariyanto Fernando lahir, besar, dan berkarya di Pulau Sabu. Dia telah membaktikan hidupnya untuk tanah kelahirannya. Dia ingin, kemiskinan dan keterbelakangan yang selama ini menjadi cap masyarakat Pulau Sabu, juga Kabupaten Sabu Raijua secara keseluruhan, bisa hilang dengan cepat. Dan itu perlu kerja keras. Dia ingin masyarakat Sabu Raijua sejajar dengan masyarakat lain di tanah Indonesia ini. Minimal dengan daerah-daerah lainnya di Nusa Tenggara Timur (NTT)
“Saya sangat sedih dengan kondisi seperti ini, dan saya akan berjuang semampu saya,” ujarnya, dengan suara yang tegas, namun pelan.
Nando lahir di Seba, 4 Juni 1989. Ibunya dibawa ke Seba saat usia kandungannya sudah menua. Mereka asli Kecamatan Sabu Liae. Usianya genap 31 tahun pada 2020 ini. Usia yang cukup matang untuk seorang lelaki seperti dirinya. Ayahnya, Barnabas Torru Duy, adalah seorang guru. Sedang sang ibu, Bercy Tersia Torru Duy, hanyalah ibu rumah tangga biasa yang kini telah tiada.
Dia menyelesaikan SD di desanya di Liae. Lalu SMP di kota kecamatan, Liae. Belum ada SMA ketika itu saat dia tamat SMP tahun 2005. Orangtuanya mengirim Nando sekolah ke Seba, tepatnya di SMA 1 Sabu Barat. Setelah lulus, dia diterima di Fakultas Ilmu Politik Universitas Cendana (Undana), Kupang. Tamat tahun 2013.
Dia pengagum presiden pertama di masa Reformasi setelah BJ Habibie, yakni Gus Dur. Katanya, orang seperti Gus Dur belum tentu lahir lagi di Indonesia.
“Saya memang Gusdurian,” ujarnya.
Gusdurian adalah orang-orang yang mengidolakan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang sangat plural dan lintas dimensi. Cucu pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH Wahid Hasyim ini bisa diterima di kalangan agama mana pun, dan etnis manapun. Saat menjadi presiden, Gus Dur langsung membuka sekat orang-orang Tionghoa (keturunan Cina) yang selama 32 tahun Orde Baru (Orba) dipasung sebagai warga kelas sekian. Salah satu yang dilakukannya adalah membiarkan kesenian tradisional Tionghoa, Barongsai, dimainkan di depan umum. Semua orang tahu, di zaman Orba, Barongsai dilarang dimainkan di depan publik. Di bekukan di ceruk-ceruk paling belakang dalam masyarakat Tionghoa.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur sangat merasuk dalam diri Nando. “Pemikiran Gus Dur telah melewati batas iman dan suku. Tidak semua negarawan kita punya pikiran begitu,” katanya.
Meski secara politik dia tertarik pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), namun tak ada yang bisa menghalangi dirinya untuk belajar banyak dari lelaki yang juga pernah memimpin PB NU tersebut. Kecintaannya pada Gus Dur diperlihatkannya ketika di akhir-akhir menjelang tamat kuliah tahun 2013, dia dan teman-teman Gusdurian menginisiasi Haul Gus Dur di Kupang. Acara ini berlangsung meriah. Semua tokoh lintas agama dan etnis di NTT datang dan mendukung. Para pengusaha berdarah Tionghoa yang membantu pembiayaan acara tersebut.