PERJALANAN KE PULAU KARANG (16)

Meskipun Pegawai Pemerintah, Nando Tetap Kritis demi Sabu Raijua

Feature | Kamis, 23 Januari 2020 - 13:37 WIB

Meskipun Pegawai Pemerintah, Nando Tetap Kritis demi Sabu Raijua
Jefrison Hariyanto Fernando dengan latar belakang rumah tradisional Sabu Raijua. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Pulang ke Sabu setelah kuliahnya selesai, Nando pernah mencoba menjadi wartawan. Dia bekerja di Mingguan Serai Pos sambil mengajar mata pelajaran sosiologi di SMA 1 Liae. Namun akhirnya dua pekerjaan itu dilepasnya. Dia memilih bekerja sebagai pendamping masyarakat untuk Program Anggur Merah. Ini adalah program pembangunan desa lewat dana desa yang diberikan Pemprov NTT untuk desa-desa di daerah ini. Tahun 2015 Nando diterima menjadi ASN di Pemkab Sabu Raijua setelah mengikuti tes setahun sebelumnya.

Meski bekerja sebagai abdi masyarakat, yakni ASN, namun Nando tak kehilangan kekritisannya. Dia sering protes kepada atasannya jika kebijakan yang diambil kurang baik atau tak berpihak kepada masyarakat kelas bawah. Karena itulah dia sering dipindah-pindah tempat tugas. Mulai dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (DPPO), Dinas Pariwisata, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) hingga kemudian dipindahkan ke Kantor Camat Raijua, jauh dari Sabu. Baginya, jabatan dan tempat tugas tidak penting selagi dia masih bisa berbuat banyak untuk masyarakatnya.


Puncak dari kekritisannya adalah ketika dia mengumpulkan warga untuk menentang rencana penambangan mangaan di Liae tahun 2017. Dia tak setuju bukan karena dia antipembangunan. Sebabnya, lokasi tambang tersebut akan menghancurkan situs budaya yang ada di sana. Baginya, kebudayaan lebih tinggi nilainya dibanding nilai ekonomis.

“Saya membangun jaringan ke mana-mana, baik di Sabu, NTT, maupun teman-teman di luar NTT. Kami ingin tambang tersebut dihentikan,” ujar Nando.

Apa yang dilakukannya itu kemudian membuatnya harus berkonfrontasi dengan atasannya sebagai ASN, yakni Bupati Sabu Raijua, Nikodemus Rihi Heke, maupun Setda Jonathan R Djami, yang merupakan orang sekampung dari Liae. Tapi dia tak mundur. Dan tak kendur.

Dia mendirikan Aliansi Tolak Tambang dan mendapatkan dukungan dari banyak pihak seperti orang-orang desa, para rohaniawan di gereja, tokoh-tokoh adat dan sebagainya, termasuk dukungan moral dari berbagai LSM di Indonesia. Awalnya masyarakat tidak tahu dampak apa yang ditimbulkan jika tambang mangaan itu diteruskan. Pelan-pelan, dia bersama aktivis tambang lainnya, termasuk Yulius Boni Geti, dan beberapa orang lainnya, memberikan pengertian.

Hal yang selalu disampaikan kepada masyarakat dan menjadi penekanan perjuangannya adalah bahwa tambang itu akan menghancurkan situs sejarah dan budaya masyarakat Liae, terutama di Desa Waduwalla, tempat pantai Majoalah berada, yang merupakan daerah  di mana tambang itu berada. Sudah terlihat banyak mobil plat merah dan alat berat di sana ketika itu. Kabarnya, investor dari Cina, Korea Selatan, dan Arab Saudi sebagai penyandang dana proyek tersebut.

 Perjuangannya membuahkan hasil. Akhirnya, lebih dari 70 persen masyarakat mendukung gerakannya. Setelah melalui kajian yang mendalam, Pemprov NTT dan Pemkab Sabu Raijua akhirnya sepakat memoratorium (membatalkan) proyek tersebut.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook