Banyak nama baru muncul sebagai pemenang dalam Laman Cipta Sastra DKR 2022. Diharapkan sastra Riau terus bergairah di masa depan.
RIAUPOS.CO - SEJAK dulu, Riau selalu melahirkan banyak sastrawan. Mereka tunak di berbagai genre dan mendapat pengakuan luas dalam dunia sastra Indonesia. Di masa lalu, Raja Ali Haji dikenal sebagai pujangga termashur hingga kini asal Tanjungpinang, meski kini secara administratif tak menjadi bagian dari Provinsi Riau lagi. Begitu juga para sastrawan yang bergabung dalam kelompok menulis Rusydiah Club yang antara lain dipelopori oleh Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam, dan Raja Abdullah. Nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi juga tak bisa dilupakan dalam sejarah sastra di tanah Melayu ini.
Lalu nama-nama seperti Soeman Hs dan M Kasim, menjadi begitu di kenal di zaman Balai Pustaka. Ketika Balai Pustaka dikuasai banyak sastrawan asal Minangkabau dan Sumatra Utara seperti Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Abdul Moeis, Merari Siregar, dan sekian nama lainnya, Soeman Hs dan M Kasim, menyeruak masuk dalam persaingan para sastrawan tanah Sumatra tersebut di ranah sastra Hindia Belanda ketika itu.
Di kemudian hari setelah mereka, tanah Melayu melahirkan banyak sastrawan yang namanya mampu menembus belantara sastra Indonesia modern. Sekadar menyebut nama, misalnya Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsudin, Idrus Tintin, Ediruslan PE Amanriza, Rida K Liamsi, Tusiran Suseno, Sudarno Mahyudin, Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, Fakhrunnas MA Jabbar, hingga ke generasi yang lebih muda seperti Marhalim Zaini, Olyrinson, M Badri, atau Murparsaulian. Generasi terkini sastra Riau yang mampu bersaing di belantara sastra Indonesia juga lahir seperti Boy Riza Utama, Cikie Wahab, Maymoon Nasution, WS Djambak, dll.
Artinya, Riau tak pernah kehilangan generasi sastrawan yang karyanya mampu bersaing secara nasional. Baik memenangkan sebuah iven nasional maupun mampu menembus ketatnya persaingan di halaman sastra media besar nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Jawa Pos, Republika, dll. Dua standar itu diyakini menjadi barometer relatif berkualitas atau tidaknya sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan tersebut.
Di Riau, sudah sejak lama Dewan Kesenian Riau (DKR) menyelenggarakan lomba menulis karya sastra, atau yang sering disebut Laman Cipta Sastra DKR. Lomba ini sering melahirkan sastrawan yang kadang sebelumnya tak terdeteksi karya-karyanya. Namun, sudah lama kegiatan ini vakum. Baru tahun ini diselenggarakan kembali.
Joni Hendri juara Laman Cipta Sastra bidang naskah drama (kiri), Ketua Komite Sastra DKR, Siti Salmah (kanan). (ISTIMEWA)
***
TAHUN 2022 ini, ada naskah 60 puisi, 54 cerpen, dan 20 naskah drama yang masuk ke meja panitia Laman Cipta Sastra DKR 2022. Para juri harus bekerja keras untuk menentukan pemenang dalam lomba ini. Mereka adalah Syaukani Alkarim, Murparsaulian, dan Siti Salmah (juri puisi), Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, dan Sugiarti (cepen), dan Kunni Masrohanti, Muhammad Kafrawi, dan Jefri Almalay (naskah drama).
Ketua Komite Sastra DKR, Siti Salmah, menjelaskan, Laman Cipta Sastra DKR 2022 ini adalah kegiatan tahunan DKR dalam ajang mencari serta melahirkan penulis di bidang sastra dan kepenulisan. Maka setiap tahun semua penulis dapat mengasah kemampuan menulis dengan membuktikan kelayakan dalam kegiatan lomba tersebut. Kegiatan ini juga menjadi upaya untuk menjaga marwah sastra Riau.
Lomba ini, kata Siti, menyediakan hadiah total Rp37 juta diselenggarakan dalam kurun waktu September-Oktober 2022. Dalam penjurian, katanya, dijamin kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan karena para juri tidak tahu naskah siapa yang mereka nilai. Nama dalam naskah dihapus, juga riwayat hidup mereka.
Untuk Laman Cipta Sastra, jelas Siti Salmah, selama pengurusan yang baru, ini kali pertama. Namun sebelumnya, katanya, DKR juga telah menaja Festival Sutardji Calzoum Bachri kategori lomba video clip puisi karya Presiden Penyair Indonesia ini.
“DKR akan terus berusaha meningkatkan gairah sastra di Riau melalui beberapa kegiatan ke depan. Tidak menutup kemungkinan berkerja sama dengan Dewan Kesenian Kabupaten/Kota, komunitas-komunitas sastra, dan lembaga lainnya,” kata Siti Salmah kepada Riau Pos, Jumat (28/10/2022).
Kata Siti, DKR berharap agar semakin banyak minat penulis-penulis yang berkarya dengan menunjukan kualitas karyanya termasuk mengikuti lomba seperti ini. Laman Cipta Sastra adalah salah satu upaya DKR menggairahkan sastrawan untuk berkarya. Begitu juga kegiatan DKR di bidang seni lainya. Intinya, kata dia, DKR sangat mendukung kegiatan sastrawan dan seniman Riau dalam melahirkan karya-karya yang berkualitas.
Siti Salmah juga menjelaskan, Pemerintah Provinsi Riau --dalam hal ini Dinas Kebudayaan Riau-- sangat mendukung dan peduli terhadap program pengembangan, pelestarian, dan menjaga seni budaya Melayu yang dilakukan oleh DKR. Tidak hanya di bidang sastra tapi juga di bidang seni budaya lainnya.
“Tahun 2022 ini DKR mendapat hibah dari Pemprov Riau yang anggarannya dimasukkan lewat Dinas Kebudayaan. Hibah tersebut menjelaskan bagaimana dukungan, kepedulian, dan perhatian Pemprov Riau terhadap lembaga kesenian, juga terhadap para pekerja seni di daerah ini,” jelas Siti lagi.
Banyak nama “baru” yang menjadi pemenang dalam lomba ini. Meski di antara mereka sebenarnya sudah berkutat di dunia sastra dengan komunitas atau kelompoknya, selama ini belum terlihat menonjol dibanding para seniornya. Juara kategori cerpen misalnya. WS Djambak (Windi Syahrian Djambak) masih tergolong nama baru di Riau dan sastra Indonesia, namun cerpen-cepennya sudah berhasil menembus Kompas atau Republika, dan sudah masuk dalam berbagai antologi cerpen bersama secara nasional. Begitu juga dengan Eko Ragil (juar puisi), maupun Febri Alamsyah (naskah drama).
“Semoga terus konsisten berkarya dan semakin menguatkan dunia satra Riau di panggung sastra Indonesia,” ujar Siti lagi.
Windi Syahrian Djambak (kanan), juara pertama Laman Cipta Sastra bidang cerpen saat berbincang dengan Siti Salmah (tengah) dan rekannya. (ISTIMEWA)
***
WINDI Syahrian mengaku senang bisa menjadi pemenang utama dalam lomba ini meski dari awal tidak menargetkan apa-apa. Dia hanya ingin berpartisipasi dan meramaikan kegiatan ini. Ketika cerpennya berhasil menjadi juara pertama, lelaki kelahiran Bukittinggi ini mengaku terkejut.
“Saya merasa kaget dan tidak percaya, namun saya anggap ini sebagai keberuntungan dan saya jadikan sebagai pemicu untuk lebih semangat lagi dalam berkarya,” ujar Windy kepada Riau Pos, Kamis (27/10/2022).
Dijelaskannya, cerpen yang ditulisnya itu mengangkat tema indigenous people yang seringkali terabaikan. Yakni tentang suku Duano (Duanu) di Indragiri Hilir (Inhil). Dijelaskannya, suku ini yang memiliki tradisi unik. Bahkan keperkasaannya mengarungi laut tidak diragukan lagi. Sekarang seperti tidak mendapat tempat di darat, bahkan laut sendiri, yang seharusnya menjadi lahan milik mereka. Ketidakpercayaan diri mereka muncul akibat keterasingan yang terlahir dari modernisasi, dan itu racun bagi budaya mereka.
“Jadi, melalui cerpen ‘Berapa Jumlah Ikan di Laut’ ini saya berharap agar siapa pun, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk lebih memerhatikan masyarakat asli, apa pun nama sukunya,” jelas lulusan Fakultas Perikanan Universitas Riau (Unri) ini.
Lebih jauh lagi, Windi menjelaskan, proses lahirnya cerpen tersebut ketika dirinya pertama kali survei dalam rangka pekerjaan di daerah Belaras, Inhil, 2017 silam. Ketika itu dia berjumpa dan mengunjungi perkampungan Suku Duano, meski tidak lama. Dia mengaku terkesan dengan keramahan mereka dan mendengar berbagai keluhan mereka terkait kerusakan laut. Sebagai orang yang bekerja di kelautan, dia tergerak untuk membuat tulisan ketika itu dalam bentuk feature dan terbit di sebua majalah tentang lingkungan.
Namun demikian, katanya, keresahannya tetap ada sebab tulisan itu hanya menjangkau kaum tertentu tergantung segmentasi dari majalah. Akhirnya dia terpikir untuk membuat tulisan yang seharusnya bisa menjangkau semua lini pembaca, dan format yang dianggapnya cocok adalah dalam bentuk prosa fiksi.
“Cerpen ini terlahir dalam beberapa versi yang mengalami berbagai perubahan. Jika saya hitung, dengan tema Suku Duano ini saya sudah membuat setidaknya tiga cerpen, dan alhamdulillah cerpen ketiga berhasil memenangkan lomba di DKR ini,” ujar penulis yang sudah menghasilkan nobel berjudul Duduk Meraut Ranjau Tegak Meninjau Jarak ini.
Windi mengucapkan terima kasih kepada DKR yang telah menaja lomba ini, terlepas dari dirinya berhasil menang. Dia mengapresiasi panitia dan dewan juri yang sudah bersusah-payah dalam melakukan penilaian.
“Saya berharap Laman Cipta Sastra DKR terus berkelanjutan dan dapat menjadi wadah bagi tulisan-tulisan dari mereka yang meminati kepenulisan. Terlebih lagi, saya berharap dari ajang ini bisa melahirkan penulis Riau yang karyanya bisa memberikan inspirasi,” ungkapnya lagi.
Sebagai orang yang sudah hidup di Riau dan mencintai Riau, katanya, dia berharap iklim sastra Riau selalu tumbuh dan berkembang, dan dia berharap saya termasuk ke dalam bagian tersebut. Di luar DKR, Windi juga berharap banyak lagi lagi kompetisi yang melahirkan kompetensi, memunculkan gairah menulis, juga membangun paguyuban atau komunitas tulis-menulis untuk sama-sama membangun iklim sastra di Riau.
***
SALAH seorang pemenang katagori naskah drama, Joni Hendri, juga mengaku senang dengan diselenggarakannya Laman Cipta Sastra DKR 2022 ini. Meski bukan pemenang utama kategori tersebut, dia bersyukur karena karyanya masuk dalam penilaian dewan juri.
Dia merasa senang sekaligus terkejut dengan banyak nama baru yang muncul sebagai pemenang. Kemudian penulis-penulis lama juga hadir mengikuti lomba tersebut. Mereka seakan-akan memang menunggu momen lomba. Dia berharap mereka yang menjadi pemenang dalam lomba ini akan terus berkarya dan tak hilang setelah lomba selesai.
“Dunia teater Riau membutuhkan naskah-naskah yang berkualitas dan itu akan ikut memajukan dunia pertunjukan tersebut,” ujar Joni.
Joni menjelaskan, dalam karya yang ditulisnya berjudul “Kematian Istri” tersebut, merupakan sebuah kegelisahan dirinya terhadap budaya leluhur yang semakin lama semakin tidak diminati oleh kaum muda. Misalnya di dalam naskah itu ada tokoh Kumantan sebagai dukun, tabib atau orang yang bisa mengobati penyakit. Tokoh tersebut adalah sebuah simbol agar kita bisa mengenal atau mengetahui kembali keyakinan-keyakinan leluhur sebagai identitas lokal. Asalkan hal tersebut masih tidak berlawanan dengan hukum-hukum agama.
“Munculnya ide untuk menulis naskah tersebut yaitu ketika saya membaca buku Budaya Tradisional Melayu Riau yang ditulis oleh Tim Pusat Penelitian Kebudayaan Kemasyarakatan Universitas Riau, terutama pada bab tentan ‘Upacara Belian Obat’. Dari situlah muncul ide saya untuk menulis tentang permasalahan yang ada di kampung saya yaitu Penyalai,” jelas Joni.
Joni berharap, Laman Cipta Sastra DKR ini tidak hanya sampai di sini. Sebaiknya terus diselenggarakan setiap tahunnya atau malah kalau bisa setahun dua kali. Menurutnya, hal itu untuk mempertahankan gairah para penulis yang tekun di bidangnya.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru