Suara-suara demikian sering mengganggu malam-malam Buyung. Agaknya kampung ini sudah patut ditinggalkan. Bukankah kodrat lelaki Minangkabau itu merantau? Mencari jati diri di antara hiruk-pikuk hidup, bermetamorfosis seiring langkah menuju pendewasaan.
Berangkatlah ia, menapaki mimpi-mimpi selepas usia remaja dikhatamkan. Pada kepala, pun palung dada. Ada azimat penguat langkah yang tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas. Berdaun rindang seiring musim menjaga teguh tegak batang.
***
Di sebuah pelabuhan, puluhan tahun kemudian.
DITATAPNYA kepulan asap dari cerobong besar kapal-kapal raksasa itu. Orang lalu-lalang menurunkan berkarung-karung entah apa. Di sudut lain, orang-orang yang lain tak kalah sibuk menaikkan berkardus-kardus, entah apa pula. Kadang datang dan pergi memang punya kemiripan. Sama merindukan dermaga sebagai pintu menuju hal baru, memasuki rumah yang baru.
Rutinitas itu seolah menjadi gambaran masa lalu dari cerita sang ayah. Ketika keserakahan berduyun-duyun datang memperebutkan hasil bumi yang dirampas paksa: lada, kopi, dan hasil bumi lain menjelma cahaya yang menyilaukan mata biru itu. Entah berapa banyak silsilah yang punah oleh keegoisan
Menyisakan elegi perkepanjangan, sebagai tangis tak terbujuk di malam-malam lengang perantauan.
Senja perlahan jatuh, lampu-lampu mulai menyala menandakan kehidupan antara siang dan malam hanya dibedakan oleh cahaya. Di ujung langit sana matahari menyisakan semburat jingga di tepian dermaga. Kemilau sinar keemasan itu tertinggal di bukit-bukit, pada dinding-dinding kapal, singgahi kerut wajah yang merahasiakan kerinduan bertahun-tahun. Menyurukkan sebab sebuah kepergian dari ingin yang terus membaca kepulangan.
“Emmahaven, bila dalam janah-Nya mengalir sungai susu, pada tubuhmu aku adalah mata air tak bermuara yang menahun merindu hulu. Membujuk gamang di rantau orang, berbisik pada diri bahwa malam adalah sebaik-baik tempat kembali, bagi siang yang terkebiri.” lirih ucapnya menatap gemerlap lampu-lampu.
Perempuan muda itu menyeka pilu yang menitik di sudut mata ayahnya--lelaki yang memandangi orang-orang pelabuhan dari balik jendela kapal--ketika lamat-lamat suara azan menyeru sendu. Lelaki itu bangkit. Perlahan, ia putar arah memunggungi mimpi. Menepis ingatan masa kecil tanpa pelukan ayah dan ibu.
Hanya petuah Uwak yang jadi alarm, nyaring berbunyi menjelang senja menuju malam. ‘Bila kaubertanya apa yang lebih tabah dari rindu, ia adalah debur muara sepanjang pantai barat, menuliskan jejak pilu kolonial pada sungai yang meriak di tubuhmu.’ ***