Seiring waktu berjalan, hari melipat siang dan malam ke dalam bilangan usia yang terus bertambah. Buyung masih asik dengan usianya. Mengganti permainan kapal-kapal dengan ayat-ayat. Mengganti tempat bermain dari bandar-bandar menuju surau. Mengenal silek* sebagai kuda-kuda pada tegaknya yang mulai kukuh. Kadang ia peragakan langkah ampek* sebagai pembuka dan pertahanan. Menghapal langkah sumbang* sebagai siasat tarung dalam gelanggang persilatan, atau langkah serong* yang menyamping, memanfaatkan tenaga lawan sebagai kekuatan untuk melumpuhkan. Di hadapan Uwak, kadang ia mencoba mempraktekkan simbang duo baleh* sebagai jurus andalan. Uwak sering membenarkan langkah-langkah yang masih kurang pas dimainkan Buyung.
Selepas usia tiga belas tahun, baju masa kanak-kanak ditanggalkan. Bahu Buyung telah kuat menyandang dua buah calung, tangannya telah mampu menumbuk jemuran satu lesung. Maka, sebilah keris disisipkan di pinggangnya sebagai lambang lelaki yang sudah pantas memijak gelanggang. Memakai seragam, sabuk, dan ikat kepala yang masing-masing punya filosofi.
“Belajarlah mengisi dan memberi seperti calung, pahami tabah selayaknya lesung yang tak pernah marah ditumbuk alu. Sebab, mengubah padi menjadi beras adalah isyarat yang dirahasiakan kedua telapak tangan. Lalu, lindungi diri seperti keris menjaga tajamnya dari batu asahan. Jadikan silek sebagai titian mengenal diri, teman di tengah lengang, dan payung ketika hujan.”
Buyung selalu menyimak petuah Uwak. Seperti batu-batu yang menulis aliran sungai sepanjang liku tebing. Sesekali dicobanya melempar tanya, memastikan apa yang didengar bisa dijadikan suluh, penerang pada malam yang tak selalu dikunjungi purnama. Akan ada masa-masa tertentu rintangan datang sebagai penguat tegak. Angin tak segan merebut nyala dari tampuknya, hujan membasuh puntung suluh sisa hempasan cuaca.
“Bila bendur rumah telah dilangkahi, Surau sudah dihuni, gelanggang telah dijajaki, masihkah ada rantau yang mesti dijelajahi anak laki-laki?”
“Buyung, rantau yang kautempuh baru awal percobaan. Ada rantau lain yang akan dimulai. Berjalanlah, tinggalkan kampung. Langkahi sungai-sungai, tapaki bukit-bukit, layari seluas laut dalam pandangan.”
Kalimat itu menjadi wasiat yang lirih berbisik di jauh malam. Pada temaram lampu minyak, dalam bilik kecil itu Uwak mengembuskan napas terakhirnya.
Meninggalkan Buyung sebatang kara di tanah kelahiran, sebagai lelaki penjaga silsilah yang punah. Setidaknya, begitulah kata-kata yang sering didengar Buyung dari orang-orang kampung sepanjang tanah pesisir.
“Ranji silsilah keluarga Buyung sudah punah. Ahli waris itu adalah perempuan, bila sudah tidak ada, maka terkuburlah sako untuk selamanya!”
“Jangan berteman dengan Buyung, perempuan yang kelak menikah dengannya, akan memiliki anak yang tidak punya bako!*”