“Namun aduhai! Saat itu meledak satu suara keras. ‘Bom!’ begitu kakek buyutmu dan nenek dikejutkan bunyinya. Takut, kembang gula itu hampir jatuh dari genggaman. Usut punya usut, ayah nenek berkata kalau itu bom yang meledak untuk mengancam Bapak Presiden kita.”
“Nek,” gugup saya. “Apa nenek waktu itu tak apa-apa?”
“Ya. Tak apa-apa. Itu kisah pertama nenek dengan kembang gula. Tak semanis rasanya. Ada lagi yang lain. Dina masih mau mendengarnya?”
Lagi-lagi saya mengangguk. Saya masih diam, menunggu terusan ceritanya.
“Agak besar, tahun tujuh enam kalau nenek tidak salah ingat. Nenek pindah ke Padang setelah menikah dengan kakekmu, Din. Nenek yang tengah dibawanya berjalan-jalan di alun-alun kota dibelikan setangkai kembang gula. Tapi sebentar saja, tiba-tiba dentuman keras berbunyi saat kami melintasi sebuah masjid. Gemetar tangan nenek, kembang gula itu terlepas dan jatuh ke tanah.”
Saya masih menyimak, tak sepotong kata pun menyelanya.
“Tahun delapan lima pula, nenek pindah ke kampung buyutmu, Din, di Banyuwangi. Ibumu yang mulai beranjak remaja hendak menyantri di tempat ustazah kenalan nenek. Satu malam saat nenek mengantarkan ibumu ke pesantrennya, nenek sempatkan membelikan setangkai kembang gula. Seumuran kamu kalau tidak salah, ia nikmati makanan manis itu sambil menunggui bus. Tapi, aduhai! Kami terkejut mendengar ledakan keras. Api meluber dari jendela sebuah bis besar. Cerita banyak orang, itu karena kejadian di Tanjung Priok. Nenek juga tak tahu maksudnya. Nanti kamu carilah di rumah tentang kejadian itu, Din.”
Saya terdiam. Saya coba raih tangan nenek, tapi ia mengelak. Nafasnya masih ditarik perlahan. Lalu dengan masa diam beberapa detik itu, ia kembali menyambung ceritanya.
“Ulah tukang ledak di bis malam itu, ibumu tak jadi disantrikan. Nenek dan ibumu kembali, kami lagi-lagi ke ibukota ini. Ibumu masih sering takut. Olehnya, nenek sering mengajaknya jalan-jalan seperti ini keliling kota. Satu sore pula, nenek belikan lagi ibumu kembang gula. Untung takutnya berangsur-angsur hilang, dikecapnya jua sedikit-sedikit.
“Tapi lagi-lagi, aduhai! Sesal nenek mengajaknya sore itu berjalan-jalan ke kota. Hotel Presiden, saat tepat di depan sana nenek dan ibumu melihat roket ditembaki oleh orang asing. Cerita orang-orang yang menembak itu orang Jepang. Ditembakinya gedung-gedung kedutaan yang ada di sekitar sana. Berlarian kami berhamburan meninggalkan tempat itu. Kembang gula di genggaman ibumu, tak ada lain selain jatuh ke tanah. Tangannya yang halus gemetaran sebab takut. Sejak itu nenek tak lagi mau membeli satu pun kembang gula untuk siapapun.”