Setelah menjadi istilah ‘sastra eksil’ maka menuntut dimaknai dan dibuktikan keberadaannya. Kemudian terbit antologi puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, yang memuat puisi-puisi dari lima belas penyair yang tinggal di luar Indonesia. Namun apakah antologi itu menjadi representasi keberadaan sastra eksil? Ataukah hanya menjadi sirene akan cerita kelam yang hendak dipersoalkan lagi?
Untuk menjawab kedua pertanyaan kunci, keberadaan sastrwan yang hidup di luar Indonesia harus ikut berkontribusi terhadap kesusastraan Indonesia. Bukankah eksprimen individu untuk bertahan hidup lebih terjal dari penyair—bukan maksud menyepelekan—yang ada dalam tanah air. Mereka sastrawan eksil pasti akan dibenturkan oleh hal-hal yang berbeda dan itu bisa saja lebih manarik dari yang ada di dalam kesusastraan Indonesia. Inilah yang saya maksud sebagai nilai tawar yang dapat mewarnai hazanah kesusastraan kita.
Mereka pun akan dengan mudah mengkomparasikan kesusastraan yang ada di dalam tanah air dengan kesusastraan tempat mereka menjadi individu, kemudian menjadi keluarga, kemudian menjadi masyarakat dan menjadi bagian dari warga negara lain. Tentu saja komparasi seorang sastrawan adalah dengan karya-karya barunya. Karya-karya yang dieksplorasi dari dua imajinasi geografis tanah asal mereka lahir dengan tanah baru mereka menjalani hidup. Sebab hanya dengan proses interpretasi terhadap komparasi inilah hazanah kesusastraan tidak lagi hanya berdiri di tempat.
Lebih-lebih didukung dengan posisi hidup yang diluar Indonesia, tentu para sastrawan eksil lebih leluasa melihat Indonesia. Jika diibaratkan, bila hendak melihat atap rumah sendiri yang bocor, tentu harus keluar rumah. Karena tak ada masalah sastra yang bocor atau masalah sastra yang perlu ditambal, sejatinya tugas sastrwan eksil adalah ikut berperan dalam kesusastraan Indonesia.***
Muafiqul Khalid MD, pemikir Comparative of Religion State Islamic University of Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sebagai Redaktur Iaa Press, dan aktif di Lesehan Sastra Kutub.