CERPEN NOVALDI HERMAN

Ledakan Kembang (Api) Gula Nenek

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 01:36 WIB

Tangan kiri saya digenggamnya   erat- erat, sementara di sebelah  lainnya saya asyik memegang tangkai kembang gula yang warnanya merah muda mempesona. Manis memang, sesekali saya gigit agak besar dari ukurannya yang aduhai lebar itu. Setiap kali saya tawari, Nenek selalu saja mengelak enggan.

Agak lelah kaki kami melangkah. Nenek lelah karena memang untuk ukuran usianya, ia tak akan sanggup berjalan sesuka hati tanpa berhenti dari pasar ke rumah kami yang jaraknya dari bakda Ashar hingga menjelang Maghrib bila ditempuh berjalan kaki itu. Saya lelah karena memang ingin bermanja-manja dengannya. Sebabnya nenek selalu baik, bahkan ketika berhadapan dengan saya yang kerjanya mengeluh saja.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Nek. Kita duduk sebentar di kursi itu, mau ya?” ajak saya yang berpura-pura letih. Dada saya naik-turun bak Usain Bolt selesai berlari setengah mati di Olimpiade Beijing. Tepat di sebuah bangku berlapis cat putih yang agak kusam di bagian kaki-kakinya. Mungkin terpaan lanyah atau bercak pasir yang lanting oleh air hujan.

Nenek tersenyum. Duga saya, ia tahu lelah itu hanyalah pura-pura. Mungkin pula ia sendiri ingin sedikit menghabiskan waktu romantis dengan saya cucunya di bangku tepi jalan itu. Sore hari yang begitu indah.

Ia hanya mengangguk. Jawaban itu sudah cukup sebagai tanda setuju darinya. Tangan kiri saya di genggamannya ditarik perlahan untuk berjalan mendekati kursi itu. Sejurus, kami telah duduk.

Nenek menatap saya sembari tersenyum sendu. Sesekali dibenarkannya kepang dua dari rambut saya yang terbilang panjang untuk seorang gadis yang telah beranjak remaja. Saya abai, tetap saja asyik menikmati kembang gula yang dibelikannya. Masih saya tawarkan padanya, Nenek kembali menggelengkan kepala.

Benar memang, sedari kecil saya sering diajak berjalan-jalan ke pasar oleh nenek. Hanya saja setiap kali melalui pedagang kembang gula dan saya merengek kepadanya, nenek enggan jua membelikan. Entah apa sebab, hanya saja kali ini ia berlunak hati menawar satu batang kembang gula dan memberikannya pada saya. Hari ini nenek begitu berbeda.

“Nek? Hari ini nenek baik, kenapa membelikan Dina kembang gula?” tanya saya memecah suasana.

Bibirnya menciut, dahinya mengerut. Duga saya, ia tengah berpikir keras tentang apa alasannya. Saya tak memaksa, sekali saja bertanya itu sudah cukup. Tak dijawabnya pun tak jadi soal.

“Dina,” jawabnya pelan. “Benar mau tahu alasan nenek tak pernah membelikan kembang gula untuk Dina selama ini?”

Saya mengangguk cepat mendengar ujarannya itu. Saya pesongkan badan sedikit menghadapnya. Mencoba khidmat mendengar baik-baik.

“Nenek bukan tak mau membelikan. Hanya saja nenek punya kisah pahit setiap kali membeli kembang gula. Biar nenek ceritakan satu per satu. Mau mendengarnya?

Lagi-lagi saya mengangguk cepat. Tak saya potong ucapannya dengan sepatah kata jua. Nenek menghela nafas. Ia benarkan gamisnya sesaat, lalu menyambung kembali kisahnya.

“Semasa nenek bersekolah dulu, ayah nenek jadi seorang guru. Baik ia, mengajak nenek bertemu Bapak Presiden di Cikini. Diajak hendak melihat hari ulang tahun perguruan tempatnya bekerja. Untuk ajakannya, dibelikannya nenek sebatang kembang gula. Manis, itu hari pertama nenek mengecap makanan berbentuk busa itu.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook