Dalam pemaparannya, Al azhar membentangkan hal-hal yang terkait dengan kearifan Melayu dan karakter bangsa. Dikatakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH), Lembaga Adat Melayu Riau itu, Di antara berbagai krisis yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini, yang paling fundamental adalah krisis akhlak, etika, etiket, moral, yang keseluruhannya itu menggumpal dalam pengertian karakter atau, dalam terminologi Melayu disebut jatidiri.
Hal itu dapat ditandai dengan berbagai kejaidan dan persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat hari ini seperti misalnya, kekerasan di kalangan remaja, membudayanya ketidakjujuran, meningkatnya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru, dan pemimpin, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya sangka-buruk, kecurigaan, dan kebencian, bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, penurunan rasa tanggungjawab individu dan warganegara, meningkatnya perilaku merusak diri, dan mengaburnya pedoman moral.
“Maka, di pentas sejarah kontemporer Indonesia, kita seperti menyaksikan persabungan gelombang. yang baru meniadakan yang lama, modern meniadakan tradisional, nasional meminggirkan yang lokal, ketunggalan menggerus kemajemukan, dan sebagainya,” ujar Al azhar di hadapan mahasiswa yang hadir di ruang seminar FIB Unilak tersebut.
Dalam menghadapi tantangan yang sedemikian itu, lanjut Al azhar diperlukan tuntunan yang jelas di mana kearifan Melayu sebagai sumber pewarisan yang perlu dipahami. Kearifan Melayu, sebagaimana halnya kearifan lokal suku-suku bangsa lainnya di nusantara, tercipta melalui pergulatan pengalaman dan pemikiran manusia-manusia Melayu di dalam ruang ekologisnya, dan dinamika sejarah berabad-abad. Ia maujud sebagai abstraksi idea/gagasan, nilai dan norma-norma, menjadi asas wujud budaya lainnya, yaitu tindakan atau praktik sosial berpola, dan artefak.
Kearifan Melayu yang dibentangkan panjang lebar dalam seminar budaya itu, di masa kini ia bukan lagi merupakan warisan yang hidup. Dengan demikian, untuk keluar dari persoalan krisis akhlak, karakter atau jatidiri bangsa dewasa ini, kearifan Melayu dan kearifan lokal lainnya perlu direvitalisasi, dan pengarus utamaannya dalam kehidupan sehari-hari dijadikan prioritas agenda revolusi mental bangsa ini untuk merespon hegemoni globalisasi dan sisi-sisi mudarat yang ditimbulkannya.
“Agenda revitalisasi kearifan lokal memerlukan kesungguhan politik dan restorasi, penguatan, serta lembaga-lembaga sosial-budaya lokal merupakan keniscayaan,” tutup Al azhar.
Menjulang Lokalitas
Pada hari ke dua Sabtu(12/12), dilanjutkan dengan diskusi dan bedah buku Kumpulan Cerpen Riau Pos 2015. Sebagai narasumber yang memberikan materi dalam kesempatan itu adalah sastrawan asal Sumatera Barat yang kini tinggal di Riau, Romi Zarman, dan Hang Kafrawi. Dalam diskusi tersebut, kedua pembicara membincangkan hal-hal yang terkait dengan menjulang lokalitas dari tema-tema cerpen yang ada di dalam buku kumpulan cerpen Riau Pos 2015 tersebut.
Seperti halnya yang disampaikan salah seorang narasumber, Hang Kafrawi, bahwa kekuatan lokalitas, dalam hal ini nilai-nilai kebiasaan atau peristiwa suatu daerah menjadi hal menarik untuk diperbincangkan dalam mengulas karya sastra hari ini. Di tengah gempuran globalisasi dengan berbasis teknologi canggih, kebudayaan suatu daerah menjadi abu-abu. Kehadiran karya sastra dengan muatan lokalitas menjadi kekuatan memperkuat eksistensi suatu daerah. Identitas menjadi hal yang sangat diperlukan. Dengan memperkuat identitas maka kecintaan terhadap negeri semakin kuat. “Inilah sumbangan pembangunan spiritual yang dibawa oleh karya sastra,” ujarnya.
Pesta Seni Pertunjukan
Usai diskusi dan bedah buku di hari ke dua, perhelatan Pekan Budaya Unilak dilanjutkan dengan pesta seni pertunjukan dari siang hingga sampai ke malam hari. Tampil beragam kreatiftas mahasiswa FIB Unilak Jurusan Sastra Melayu di panggung terbuka.