CERPEN JOEL PASBAR

Emmahaven

Seni Budaya | Minggu, 12 Januari 2020 - 14:00 WIB

Emmahaven

Masa kecil dan petuah Uwak

“Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang  tak takluk kepada gelombang,*”


IA sedang mencari kesenangan. Mengubah apapun menjadi apa saja. Kertas bekas dilipat dan dibentuknya menyerupai pesawat, terbang bersama bahagia menyisiri halaman, kebun bunga yang baru di tanam, dan akhirnya mendarat di atas atap rumbia. Ada tangis yang mengajari arti sebuah kegagalan. Sebelum helai-helai lain menjelma pesawat baru untuk riang yang baru pula

Kali lain ia cari lembar yang lain. Lalu, melipatnya menyerupai kapal pesiar yang di tengahnya terpampang layar besar sebagai tenaga penampung angin. Bunyi mesin kapal itu keluar dari mulut kecilnya yang lugu menjawab ketika orang-orang bertanya.    

“Ke mana kapalmu itu hendak berlayar, Buyung?”

“Ia akan menyusuri teluk, mencari laut sebagai tempat bermain. Mengenal kecipak riak sepanjang tualang mencari tanah tepi.”

“Bagaimana kalau badai tiba-tiba datang menghantam tiang tengah, mengoyak layar dan mematahkan kemudi?”

“Bukankah kalau tidak ajal berpantang mati? Cemas hanyalah ketakutan dalam bentuk ketidakpercayaan pada diri.”

Uwak seakan mendengar Buyung berkata, kapal itu suatu waktu akan tiba di bandar-bandar besar. Bersauh pada gigir tebing yang tubirnya menjulang kukuh setinggi harapan. Uwak membayangkan betapa ramai orang-orang yang merapat ke dermaga. Memastikan barang pesanan beberapa waktu lalu tidak lupa dibawa oleh tuan niaga dari seberang itu. Dalam tubuh Buyung, Uwak melihat sungai-sungai mengalir, mencari muara sebagai akhir tualang panjang yang mungkin melelahkan.

Buyung terus melayarkan kapal kecilnya di selokan itu. Kadang terdengar mesin kapal tertatih di mulutnya. Kadang meraung keras bila tiba-tiba ada ranting yang menghentikan laju mainannya. Uwak menyimak dari jendela usang, sembari menikmati kopi daun dan rokok pucuk enau. Dari gerik mulut Buyung ada bahasa yang didengar Uwak sebagai sebuah lagu. Nyanyian masa lalu, ketika orang-orang Belanda mulai merapat ke Kampung Bukit.

Dari gerak mulut Buyung yang kadang tenang, Uwak mendengar riang orang-orang. Belanda hanya datang sebagai niaga yang menjual barang-barang dari seberang sana. Lalu membeli lada dan kopi sebagai ganti pengisi kapal untuk dibawa entah ke mana pula.

“Kalau bukan karena mereka, manalah kita tahu cara menanam lada dan kopi. Mereka telah banyak membantu roda perekonomian.” kata, atau lebih tepatnya pembelaan demikian kerap menjadi perdebatan di lepau-lepau pertigaan jalan. Ada yang suka dan bekerja sebagai kaki tangan Belanda, ada yang terang-terangan menentang dengan perlawanan kecil hingga perang besar yang lupa dicatat sejarah.

“Mereka itu penjajah! Hasil bumi kita dikeruk. Coba lihat pondok-pondok yang dibangunnya di pinggir sungai dan pinggang bukit! Di tambang itu orang kita diberi upah kecil menggali tanah milik sendiri, emasnya dibawa ke sana, ke tanah asalnya!”

Menurut penuturan orang tua-tua dahulu, berkompi-kompi tentara Belanda pernah menduduki wilayah pesisir hingga daratan tinggi tanah ini. Mengajari masyarakat menanam lada dan kopi, yang hasilnya harus dijual pada mereka dengan harga rendah. Siapa saja yang membangkang akan jadi korban keganasan tanpa prikemanusiaan. Uwak, salah seorang warga pribumi yang pernah merasakan kehilangan menantu dan anak perempuan satu-satunya jadi korban kekejaman itu, karena Belanda tidak terima menantu Uwak bersama komplotannya memberontak.

 

***

SELEPAS bendera merah putih mengangkasa di langit nusantara, Uwak membawa Buyung, cucu lelaki satu-satunya yang telah jadi yatim-piatu sejak berusia dua tahun. Menetap di sebuah kampung kecil di pinggir pelabuhan adalah pilihan, menjadi nelayan di usianya yang sudah sepuh. Bersama Uwak, Buyung tumbuh sebagai tunas yang tak mungkin menjadi benih pewaris dalam sistem peradaban matrilineal. Sebuah kepedihan yang tak pernah diceritakan Uwak kepada Buyung.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook