Sebagai ekspresi khusus individu, seperti dalam kegiatan ibu menidurkan anak (dodoi anak, baghandu, onduo, nandung, dll.), pantun-pantun yang didendangkan secara tematik adalah nasihat-nasihat kebaikan (tunjuk ajar), harapan-harapan, perasaan kasih sayang, cinta, dan kerinduan. Rangsangan penciptaan pantun dalam kegiatan pengasuhan anak ini berkurang, karena di masa kini kebanyakan orang tua lebih seiring menggunakan media-media baru (tape recorder, televisi, dan gadget) untuk melengahkan anaknya menjelang dan ketika tidur. Potensi pantun dan pewarisan keterampilan (bersama nilai-nilai yang dikandungnya) pun terancam punah.
Dalam budaya tulis, pantun hadir sekurang-kurangnya dalam jenis: (a) hiasan dalam kisahan-kisahan Melayu masa lampau, manuskrip dan kemudian cetak; (b) buku-buku kumpulan pantun, baik yang dikarang sendiri oleh penulisnya, maupun yang bersifat dokumentasi atas pantun-pantun popular; (c) pantun-pantun yang menghiasi surat-surat pribadi (antar keluarga dan sahabat yang tinggal berjauhan, antara dua kekasih, dsb.); (d) pantun-pantun yang ditulis untuk hiasan pidato, dan sebagainya.
Di masa kini, pantun-pantun yang menghiasi kisahan, sudah hampir tidak pernah dibuat lagi; demikian pula pantun-pantun dalam surat-surat pribadi. Keduanya, dalam kepengarangan masa kini, cenderung dianggap sebagai ciri ‘masa lampau’, yang oleh karena itu terkesan seperti dijauhi. Sementara itu, meskipun tidak terlalu berkembang, buku-buku pantun masih diterbitkan. Namun, sebagian besar buku-buku itu bukanlah pantun-pantun karya individu (seperti kumpulan pantun Haji Ibrahim), melainkan hasil pengumpulan pantun-pantun yang terserak dalam berbagai tradisi lisan warisan. Dengan demikian, penciptaan pantun secara tertulis dari jenis (a), (b), dan (c) tidak dapat dikatakan berkembang.
Berbeda dengan pantun-pantun untuk hiasan retorik dalam pidato-pidato. Sejak tahun 1980-an, di pusat-pusat alam Melayu (seperti di Kepulauan Riau, Riau, dan Kalimantan Barat), para pejabat cukup biasa memasukkan bait-bait pantun di dalam teks pidato mereka. Pada umumnya, bait-bait pantun itu disajikan di bagian awal dan akhir pidato; namun tidak jarang pula ditempatkan pada bagian tengah teks. Berkembangnya gejala ini di Indonesia diduga berhubungan dengan politik identitas yang sejak pertengahan tahun 1970-an didorong oleh pemerintah Indonesia, dalam bentuk kegiatan-kegiatan inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan ‘daerah’. Setelah reformasi 1998, yang diikuti dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di kawasan-kawasan berbudaya Melayu di seluruh Indonesia menyuburkan kegiatan-kegiatan penemuan (kembali) identitas lokal mereka; dan pantun adalah di antara simbol identitas lokal yang terjaring dalam kegiatan-kegiatan tersebut.***
Dalam konteks simbol identitas itu, pantun tertulis dibawa ke dalam berbagai kegiatan seremonial pemerintah, dipelajari di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal, dilombakan (berbalas pantun, atau jual-beli pantun), dijadikan semboyan kota (misalnya, semboyan “Kota Gurindam Negeri Pantun” untuk Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau), dan dirayakan melalui kegiatan-kegiatan massal (seperti pemecahan rekor MURI untuk jumlah orang berpantun, yang dilakukan di Tanjungpinang).
Di dalam dunia digital dan media sosial, pantun dari gejala budaya kelisanan sekunder (secondary orality) pertama-tama berkembang melalui lagu-lagu popular Melayu, baik di Indonesia, Malaysia, Singapura, maupun di Brunei Darussalam. Lirik (seni-kata) lagu-lagu diva Melayu popular masa kini, seperti Siti Nurhaliza (Malaysia) dan Iyeth Bustami (Indonesia), secara kualitatif memenuhi puitika, etika, dan estetika pantun. Lagu-lagu popular Melayu yang menggunakan pantun ini dapat dianggap sebagai kesinambungan tradisi pantun, dengan alur perkembangan: dari pantun-pantun spontan (lisan) untuk lirik lagu-lagu pertunjukan joget, dondang sayang, langgam, zapin, ghazal, dan lain-lain, masuk ke dunia tulis penciptaan lirik lagu-lagu popular yang dikekalkan melalui teknologi rekaman, dirayakan oleh media elektronik (radio dan televisi) dan dunia digital masa kini.
Selain itu, pantun juga mudah ditemukan di dalam media-media sosial, antara lain dengan adanya grup-grup pantun online. Pelajaran kemahiran berpantun melalui media online juga diwujudkan, misalnya oleh Pusat Bahasa Melayu Kementerian Pendidikan Singapura. Menjelang hari-hari besar (Islam), pantun menjadi pilihan popular untuk mengirimkan ucapan-ucapan kepada kaum kerabat, sahabat, dan handai-tolan melalui fasilitas media-media sosial.
Di samping dunia digital, di masa kini pantun juga berkembang melalui media luar ruang (spanduk, baliho, poster, LED, dsb.). Baju-baju kaos dengan ilustrasi pantun juga mulai banyak dijual. Akhir-akhir ini, perusahaan penerbangan Citilink pun menggunakan bait-bait pantun untuk menyapa penumpangnya, di awal dan di akhir penerbangan. Program-program hiburan di televisi juga sering menampilkan pantun. Koran Riau yang terbit di Pekanbaru juga sejak bertahun-tahun yang lalu selalu menampilkan pantun di halaman depannya. Semuanya itu memperlihatkan peningkatan popularitas pantun di tengah-tengah kehidupan masyarakat masa kini.
Namun, perkembangan tersebut tidak selalu positif bagi kelestarian pantun itu sendiri. Sebagian besar penggunaan pantun dalam media televisi, media sosial, media luar ruang, dan dunia penerbangan cenderung artifisial, cenderung hanya mengejar persamaan bunyi akhir (rima akhir ab-ab) saja.***
Rima akhir hanyalah salah satu unsur pembentuk pantun. rohnya terdapat dalam kesebatian yang utuh dari unsur-unsur teknis (sampiran-isi, jumlah kata dan suku-kata, rima, dan sebagainya.), logis, dan etis.
Pantun dapat ditakrifkan sebagai puisi yang terdiri atas empat baris sebait, yang sekurang-kurangnya bersajak akhir a-b-a-b. Setiap baris pantun yang baik terdiri atas 4-5 kata bersuku-kata 8-12, mengandung sebuah sketsa kecil yang menyatu membangun suatu kesatuan utuh dan bulat dari segi bentuk, musik, serta makna. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), secara tersurat tidak memiliki hubungan semantik dengan dua baris berikutnya yang disebut isi (maksud).
Menyerupai teka-teki, sampiran menegakkan tonggak-tonggak perhatian dalam pikiran dan imajinasi khalayak, untuk kemudian secara mengejut dialihkan kepada isi/maksud atau pesan yang ingin disampaikan. Meskipun berfungsi sebagai pengalih perhatian, kata-kata dalam sampiran pantun yang dianggap baik tidak bersifat acak, tetapi mencitrakan keluasan pengetahuan dan pengalaman, serta kedalaman kearifan manusia dan masyarakat Nusantara. Melalui sampiran, khalayak dibawa memasuki semesta kehidupan Nusantara: alam sekitar beserta keragaman flora dan faunanya, relung-relung peristiwa dan sejarah yang dialami, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaannya.
Pantun yang dianggap baik ialah yang korespondensi bunyi (dan segala aspek musikalitasnya), maupun sintaks antara sampiran dengan isinya seimbang dan setimbang. Atau, menurut Muhammad Haji Salleh (2006), dua baris sampiran dapat diibaratkan bagai bercermin di depan dua baris isi; seperti dua bagian kertas yang dilipat, kata-kata, irama, dan bentuknya akan bertemu secara rapi. Dengan demikian, secara filosofis, pantun menganjungkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian.
Sumbangan Bagi Kebudayaan Dunia
Sebagai warisan budaya, pantun memberi sumbangan yang amat berarti terhadap kesinambungan kebudayaan Nusantara di dalam arus deras kesejagatan masa kini. Pesan-pesan tersurat dalam keseluruhan kata, baris, dan bait-bait pantun bersumber dari nilai-nilai luhur yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan pengucapannya sekaligus mengingatkan khalayak terhadap nilai-nilai tersebut. Di tengah-tengah khalayaknya (masyarakat Nusantara), pantun menyegarkan kesadaran nilai, dan dengan itu pantun dapat dianggap sebagai cermin sekaligus pengawal keberadaan nilai dan penerapannya dalam budaya Nusantara.
Secara nasional, pantun memberi sumbangan yang berharga pada kenyataan kekayaan dan keragaman khasanah budaya bangsa. Dari nilai-nilai kesantunan dan kearifan yang dianjungkannya, pantun mengkonfirmasi kekhasan budaya nasional Indonesia yang ramah dan terbuka. Pantun juga menyumbang terhadap kehalusan bahasa nasional (Bahasa Indonesia) dan praktik-praktik pemakaiannya. Di era dunia tanpa batas ini, setiap bangsa akan memperkuat identitas budayanya masing-masing, yang prosesnya disebut glokalisasi. Dalam konteks ini, pantun merupakan salah satu modal budaya penting bagi Indonesia untuk mengembangkan globalitas tersebut.
Dalam lingkup dunia, keberadaan warisan pantun memberi sumbangan terhadap kesadaran pentingnya hubungan harmonis, baik secara vertikal (antara manusia dengan Sang Pencipta), maupun horisontal (antara sesama manusia dan manusia dengan alam). Pantun merayakan keseimbangan ekosistem, di mana alam adalah guru yang mengajarkan kearifan, bukan obyek eksploitasi keekonomian (seperti sekarang) yang bertumpu pada pemenuhan keinginan tanpa batas manusia. Khasanah warisan budaya pantun bisa menjadi suara penyeimbang (counter voices) terhadap dominasi antroposentrik dan praktik-praktik eksploitatif terhadap alam yang sedang berlangsung sekarang. Sejak berabad-abad lampau orang-orang di Nusantara menganjurkan agar manusia berguru kepada alam. Mungkin sekarang saatnya Nusantara menyerukan kepada dunia: berguru kepada pantun.
Warisan budaya pantun dimiliki oleh komunitas luas di Nusantara yang sekarang tersebar dalam sejumlah negara. Ia merupakan warisan milik bersama. Sebagai milik bersama, agenda-agenda yang dikongsi untuk memulihkan kewajaran kehidupan pantun meniscayakan komunikasi yang intensif. Pantun itu sendiri lahir dari dialog mendalam antara manusia dengan lingkungan luas alam dan manusia serta masyarakat berbilang kaum dan bangsa, sesuai dengan sifat terbuka yang dirayakan di Alam Melayu. Oleh karena itu, dipelopori oleh Indonesia (melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), pantun disepakati untuk diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya bersama (joint nomination) negara-negara serumpun.
Seperti yang dikatakan tardji bahwa kita mewariskan kepada dunia, bukan hanya tukang tamping. Harus ada upaya keras mengusulkan sebagaian warisan. Sedang dikerjakan, masih banyak yang harus dikerjakan sampai akhirnya disetujui, harus diharmonisasikan ke Malaysia, Brunei karena pantun milik serumpun, ujung tombaknya Riau.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru