Pantun Warisan Dunia

Seni Budaya | Minggu, 31 Januari 2021 - 10:23 WIB

Pantun Warisan Dunia
ilustrasi

Renward Bransetter (dalam Tusiran Suseno, 2008) menyebutkan “pantun” berkaitan kata-kata, sopan dan teratur. Secara etimologi, dalam bahasa Melayu, kata tun dapat diartikan arah, pelihara dan bimbing, seperti ditunjukkan oleh kata tunjuk dan tuntun. Berdasarkan pendapat ini, kata “pantun” merujuk pada pengertian pemakaian bahasa yang sopan, santun, beretika, teratur dan tersusun. Dalam masyarakat Melayu-Minangkabau, pantun dikatakan berasal dari ‘panuntun’ (penuntun). Dengan demikian, pantun dapat dimaknai sebagai sepasang bahasa terikat yang dapat memberi arah, petunjuk, tuntunan dan bimbingan.

Penamaan 'pantun' tersebar di berbagai wilayah berbahasa Melayu di seluruh nusantara, seperti di sebagian besar Sumatera, sebagian Kalimantan, sebagian Kepulauan Maluku, dll. (Indonesia), di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan. Bentuk pantun juga terdapat di sejumlah suku bangsa lain di nusantara, dengan penamaan setempat, seperti di Bima (disebut Patu Mbojo), Sulawesi Tenggara (disebut Kabanti/Kabachi), Bugis-Makasar (elong, bati’-bati’), Batak (umpasa), Mandailing (ende ende), Sunda (Paparikan dan Sisindiran), Jawa (Parik-an), dll.


Di Riau, kata "pantun" juga dilekatkan pada beberapa genre seni lisan Melayu, seperti Kayat Pantun (Rantau Kuantan, yang liriknya terdiri dari pantun-pantun), dan Pantun Atu-i (‘pantun seratus’ di Kampar, Rokan, dan lain-lain, yaitu dendang kisahan yang dibangun dari rangkaian seratus pantun). Di dalam genre Koba Melayu Rokan, penamaan pantun misalnya muncul dalam bagian-bagian penceritaan, misalnya:

Sudah naik Selamat ke anjung tinggi
Anjung tinggi Cemala Ganti
Sudah berjumpa dengan si Kembang Cina

Dengarlah kecikak pantun dan gurindam mereka di sana. Penyebutan ini menunjukkan kata 'pantun' sebagai genre seni bahasa yang berdiri sendiri. Namun dalam tradisi lisan, kata 'pantun' tidak langsung disebutkan, melainkan secara implisit menjadi struktur inti pembentuk tradisi lisan tersebut. Dalam menumbai (ritual mengambil madu dari sarang lebah di pohon yang disebut sialang atau tualang), misalnya, gugusan mantra yang didendangkan untuk membujuk lebah agar tidak menyengat juagan (juragan; pengambil madu dari sarang lebah di dahan sialang), hampir seluruhnya berstruktur ‘pantun’.
 
Pada masa lalu, pantun tersebar ke seluruh wilayah yang kini disebut sebagai negara-negara serumpun, hingga ke Madagaskar dan Afrika Selatan. Selain di alam Melayu, bentuk yang menyerupai pantun juga dikenal di Tiongkok (disebut Syi Cing), di Spanyol (disebut Copla), dan di Jepang, Iran, serta Jerman, sebagaimana dijelaskan Prampolini dalam Liaw Yock Fang (1993). Kaitan historis antara bentuk Syi Cing dan Copla masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam.

Namun, sub-genre sastra yang disebut pantoum di dalam kebudayaan Prancis dan Inggris jelas berasal dari pantun! Orang Inggris dan Prancis mengenal pantun dari buku William Marsden berjudul A Dictionary and Grammar of the Malayan Language (1812); di dalamnya dimuat beberapa pantun berkait. Pantun itu mengilhami pengarang masyhur Prancis, Victor Hugo (26 Februari 1802 – 22 Mei 1885) menerbitkan versi Prancis terjemahan Ernest Founiet atau pantun berkait dari buku Marsden tersebut (tanpa rima) untuk catatannya atas buku Les Orientales (1829). Sejak itu, beberapa penyair Prancis berusaha menciptakan pantoums (pantun-pantun) mereka sendiri. Penyair Leconte de Lisle (22 Oktober 1818 – 17 Juli 1894), misalnya, menerbitkan 5 pantoum dalam bukunya yang berjudul Poème tragiques (1884). Kemudian, sebuah puisi terkenal karya pengarang dan filsuf masyhur abad ke-19 Prancis lainnya, Charles Baudelaire (9 April 1821 – 31 Agustus 1867), berjudul “Harmonie du Soir” juga dianggap bersumber dan menggunakan puitika pantoum. Oleh karena persebaran yang luas itu, pantun sepatutnya dianggap sebagai warisan budaya kolektif yang melampaui batas-batas negara dan budaya.
Kondisi saat ini

Secara historis, pantun hidup dan berkembang dalam tiga gejala budaya masyarakat Nusantara, yaitu lisan primer (primary orality), tulisan (naskah/manuskrip dan cetak), serta lisan sekunder (secondary orality, media elektronik dan digital). Sebagai warisan budaya lisan primer, pantun semakin langka seiring makin ditinggalkannya praktik-praktik ritual purba di tengah-tengah masyarakat Nusantara, derasnya penetrasi pengetahuan modern, dan perubahan drastis ekologi fisik yang menyagang kehidupan ritual-ritual tersebut.

Dalam acara-acara adat, pantun-pantun yang digunakan para pemangku adat, tidak hanya merupakan retorika khas dalam rangkaian sebuah prosesi, tetapi juga menjadi media untuk merawat ingatan komunitas pada leluhur, alam, nilai, norma, dan hukum serta aturan-aturan adat itu sendiri. Bersama peminggiran peranan adat dan para pemangkunya dalam kenyataan masa kini Nusantara, tradisi dan penciptaan pantun untuk acara-acara adat terancam punah.

Beberapa kegiatan ekonomi tradisional Nusantara juga merupakan sarang pantun. Di Riau, misalnya, dikenal pantun-pantun mantra menangkap ikan, menumbai, timang padi, timang enau (agar air nira/enau untuk dijadikan gula menjadi lebih banyak), pantun-pantun sindiran dan kasih sayang dalam batobo (bergotong-royong mengerjakan sawah/ladang). Pantun-pantun dalam kegiatan ekonomi tradisional Melayu ini terancam punah, terutama karena kerusakan ekologi (sungai dan danau tercemar limbah, hutan dan pohon sialang ditebang untuk dijadikan kebun kelapa sawit dan akasia, ruang kehidupan tradisional menyempit karena konsesi-konsesi yang diberikan negara kepada perusahaan-perusahaan).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook