SUATU kali, dalam sebuah acara diskusi tiga novel pemenang Ganti Award II 2005 (Getah Bunga Rimba [Marhalim Zaini],Jembatan [Olyrinson] dan novel saya Malam, Hujan) yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Pekanbaru di Aula Perpustakaan Wilayah, salah seorang peserta yang masih sangat muda, bertanya kepada pembicara; almarhum Deded Er Moerad, Marhalim Zaini, Olyrinson dan saya sendiri.
“Tadi, para pembicara mengatakan bahwa ketiga novel yang sedang didiskusikan ini berusaha membumi dan mudah dipahami oleh siapapun. Tetapi bagi saya, karya sastra, termasuk ketiga novel ini, tetap berat dan saya tidak paham apa yang dimaksudkan oleh para pengarangnya...”Pertanyaan itu sebenarnya ditujukan kepada saya, karena sebelum gadis muda yang masih berseragam sekolah itu bertanya, saya memaparkan dan meyakinkan bahwa novel Malam, Hujan, adalah novel yang mudah dipahami, berusaha menggambarkan waktu dan tempat sedetail mungkin seolah-olah pembaca sedang menonton sebuah film, dan dengan bahasa yang tak perlu mengerutkan dahi. Namun, mendengar itu, saya menjadi mafhum dan berusaha untuk memahami kondisi masyarakat kita secara umum yang memang masih asing dengan buku.Meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma, kita menulis di sebuah masyarakat yang tidak membaca.
Dalam diskusi tersebut, banyak hal yang dipaparkan baik oleh Marhalim, Deded, maupun Olyrinson. Marhalim mengejaskan bahwa proses penciptaan novelnya yang kemudian menjadi novel terbaik tersebut, berawal dari kehidupan rutin ketika dia masih berada di kampung halamannya di Teluk Pambang, Bengkalis. Suasana perkampungan, kebun karet, kehidupan yang sederhana dan tenang dan ornamen-ornamen kampung lainnya, merupakan ihwal dari terciptanya ide novel itu.
“Saya menulis berawal dari hal-hal biasa di sekitar saya dan ini yang selalu menjadi sumber inspirasi saya, dan untuk menambah pengayaan ide, saya membaca buku dan mempelajari lingkungan yang lain,” jelas pengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan Universitas Islam Riau (UIR) ini.
Hampir sama dengan Marhalim, Olyrinson juga menciptakan karya dengan ide dari kehidupan sehari-hari. Ide dari novel Jembatan didapatnya ketika dia pulang-pergi dari Pekanbaru-Siak dengan melewati penyeberangan di Perawang.Cerita tentang kehidupan yang biasa ini menjadi istimewa di tangan Oly karena banyak sisi humanis yang dipaparkan.
“Saya tidak bisa menulis novel bagus, saya hanya bicara tentang keseharian,” jelas pegawai sebuah perusahaan kontraktor perminyakan ini.
Sementara itu Deded, seniman senior yang pernah lama tinggal di Jogjakarta, Jakarta dan Belanda, menjelaskan bahwa ketiga novel tersebut telah mampu melakukan eksplorasi estetika baik dalam bentuk maupun isi cerita.Deded mengatakan, seorang pengarang harus selalu mencari ide dan estetika dan memberikan pemikiran-pemikiran baru kepada pembacanya.
“Kalau seorang pengarang tidak melakukan itu, maka ia akan ditinggalkan pembacanya,” jelas lelaki yang dekat dengan WS Rendra ini.***
DI lain waktu, ketika punya kesempatan ke Surabaya, saya bertemu dengan tiga orang yang sudah eksis di dunia sastra. Mereka adalah mahaguru sastra Pak Budi Darma (saya memanggilnya “Pak” sebagai rasa hormat saya), pengarang produktif Kurnia Effendi yang sedang ada acara di Surabaya dan almarhum Lan Fang, salah seorang pengarang wanita yang sangat produktif sebelum meninggal, yang memang tinggal di Surabaya. Kami ngobrol di rumah Pak Budi di KompleksPerumahan IKIP Surabaya bersama beberapa rekan yang lain.Sangat beruntung, untuk keduakalinya saya bisa bercengkrama begitu lama dengan Pak Budi.Pertemuan pertama terjadi di Kayu Tanam, Sumatera Barat pada tahun 1997 saat Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kompleks INS Kayu Tanam. Ketika itu, saya masih “hijau” dan baru tumbuh sehingga saya merasa apa yang dijelaskan oleh Pak Budi dan teman-teman lainnya saat itu, terasa sulit saya cerna. Maklumlah, belum banyak buku yang saya baca karena susahnya mendapatkan buku yang bermutu baik di universitas maupun di toko buku.Untuk membeli harganya tak terjangkau oleh kantong mahasiswa, sementara tidak ada kawan yang mau meminjamkan.
Namun, kondisi ini tidak membuat saya patah semangat. Pelan tapi pasti, akhirnya saya mendapatkan beberapa buku Pak Budi seperti Olenka, Rafilus, Ny. Talis dan Orang-orang Bloomington. Belakangan cerpen-cerpennya juga mulai saya gemari seperti “Mata yang Indah”, “Lelaki Pemanggul Goni” atau “Derabat” yang pernah menjadi cerpen terbaik Kompas.
Barangkali, apa yang dikatakan Pak Budi ini ada manfaatnya bagi kita. Dalam sebuah wawancara di jurnal Prosa (2003), lelaki yang selalu tampak santun, rapi, dan lembut tutur-kata ini sekali lagi mengakui, “...saya menulis tanpa saya rencanakan, dan juga tanpa draft.Andai kata menulis dapat disamakan dengan bertempur, saya hanya mengikuti mood, tanpa menggariskan strategi, tanpa pula merinci taktik.Di belakang mood, sementara itu, ada obsesi.”