Dalam perbincangan di
rumahnya di malam yang hujan itu, Pak Budi lebih banyak menjadi moderator dan
penyimpul diskusi, namun dengan bernas kata-katanya benar-benar mencengangkan.
Misalnya, ketika kami diskusi tentang wacana muatan lokal dalam sastra
Indonesia, Pak Budi mengatakan bahwa lokalitas sebuah karya itu tak bisa
dipaksakan antara lokalitas daerah, lokalitas budaya atau lokalitas pemikiran. “Belum tentu
seseorang yang hidup di lokalitas budaya dan daerah yang sama, memiliki
lokalitas pemikiran yang sama juga,” katanya. Dia mencontohkan,
pluralisme yang tumbuh di Riau.Menurutnya, lokalitas yang bisa diciptakan
dengan baik di Riau adalah lokalitas daerah, tetapi tidak bisa dipaksakan
lokalitas budaya dan pikiran.“Lokalitas daerah ya Riau itu.Tak bisa dipaksakan
orang Minangkabau, Batak, Banjar atau Jawa yang hidup di sana, harus menulis
sastra dengan latar belakang lokalitas budaya Melayu,” kata Pak Budi ketika
itu. Kembali ke pokok awal
masalah tadi, bahwa apa yang dijelaskan oleh Pak Budi bagaimana proses
penciptaannya, merupakan contoh bagaimana seorang pengarang menggarap ide-ide
yang berbeda. Pak Budi sendiri mengakui, meski dia sudah lama tinggal dan
menetap di Surabaya, namun dia sangat tidak fasih berbicara tentang kebudayaan
yang berkembang di Surabaya, termasuk persoalan sosiologis masyarakat Jawa
Timur yang berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah di mana dia lahir di Rembang.
Tipe masyarakat Jawa Timur cenderung terus terang dan keras, sementara Jawa
Tengah lebih tertutup, mengutamakan sopan-santun dan bicara dengan lembut. “Tapi dalam proses
penciptaan, saya kira seharusnya pengarang tidak harus memikirkan
batasan-batasan karena itu akan memasung proses kreatifnya,” kata Guru Besar
IKIP Surabaya ini.
***
BEGITU keluar dari rumah Pak Budi, baik saya, Kurnia Effendi maupun Lan Fang sepanjang jalan merasakan ada hal besar dan banyak yang kami dapatkan. “Ini bedanya orang-orang muda dengan mereka yang sudah lama makan asam-garam hidup. Pak Budi banyak berkarya, dan sedikit bicara,” kata Kurnia, pengarang yang sudah menerbitkan banyak buku novel maupun kumpulan cerpen seperti Senapan Cinta, Bercinta di Bawah Bulan, Selembut Lumut Gunung, Aura Negri Cinta dan sebagainya itu.Kurnia Effendi adalah generasi pengarang seangkatan Gus tf Sakai yang memulai menulis cerita remaja dan dimuat di Majalah Gadis, Anita Cemerlang, Aneka Riaatau Ceria Remaja. Seperti juga Gus, Kurnia juga sering memenangkan berbagai sayembara penulisan cerita (cerpen dan novel) remaja. Seiring pertumbuhan usia, keduanya juga merambah sastra serius dan karya-karyanya mulai menembus media serius seperti Horison, Kompas, Republika, Media Indonesia dan akhirnya mendapat pengakuan secara luas.
“Bagi saya, menulis tak perlu memilih genre.Saya menulis apa saja yang bisa ditulis dan dikirimkan ke media yang sesuai dengan tulisan itu,” katanya suatu kali.
Akan halnya Lan Fang. Perempuan berdarah Tionghoa ini semasa di hidupnya eksis dengan dunia kepengarangan ketika cerpen maupun cerita bersambungnya memenangkan lomba yang diadakan oleh Majalah Wanita Femina atau Kartini dan beberapa novelnya yang telah menjadi buku seperti Kembang Gunung Purei, Pai Yin hingga kumpulan cerpen terbarunya, Lelaki yang Salah, atau Ciuman di Bawah Hujan.Wanita kelahiran Banjarmasin ini mengakui bahwa proses kepengarangannya dilalui tanpa mencari kerumitan.
“Pokoknya saya menulis cerita, banyak yang dimuat media, banyak juga yang ditolak.Tetapi saya terus menulis,” katanya.
Sebenarnya, apa yang saya tulis ini, hanya ingin memberi gambaran bahwa dunia kepenulisan itu tidak terlalu rumit, asal kita terus mau mencoba dan mencoba, termasuk membaca dan membaca. Seorang pengarang yang baik adalah ketika karyanya bisa berkomunikasi dengan pembacanya, sementara seorang pembaca yang baik adalah ketika dia bisa berkomunikasi dengan bacaannya tanpa harus mencari pemahaman dari yang lain. Semakin bingung, kan? @harybkoriun