Genre itulah yang dia pilih dalam menuliskan “laporan jurnalistik”-nya tentang bocornya reaktor nuklir Chernobyl, Perang Soviet, Perang Afghanistan, dan tragedi kemanusian lainnya pasca hancurnya Soviet pada 25 Desember 1991. “Tulisan Alexievich menjadi monumen bagi keberanian dan penderitaan pada masa kini,” kata pernyataan resmi Komite Nobel.
“Selama 30 atau 40 tahun terakhir, dia telah memetakan individu Soviet pasca-runtuhnya Soviet. Yang dipaparkannya bukan hanya sejarah peristiwa, tetapi juga melibatkan emosi orang-orangnya. Dia menawarkan dunia yang emosional. Dia memahami manusia, dan menuliskannya dengan penuh rasa kemanusiaan,” kata Sara Danius, Ketua The Swedish Academy.
Salah satu karya Svetlana yang menjadi penting dan dianggap sebagai pijakan utama penilaian adalah U voijny ne zenskoe lico (War’s Unwomanly Face). Buku pertamanya yang terbit pada 1985 itu merupakan laporan jurnalistik yang sangat panjang tentang penderitaan lebih satu juta lebih wanita Rusia yang berada di garda paling depan dalam Perang Dunia II. Sebuah fakta yang selama ini disimpan dalam sejarah Rusia.
Untuk penulisan ini, dia harus wawancara dengan ratusan wanita yang lolos dari maut perang tersebut, atau dengan anak-anak dan suami mereka saat perang itu terjadi. Mereka orang biasa, tak memiliki jabatan apapun saat perang, tetapi tahu dan merasakan kepedihan perang itu. Mereka dibiarkan bercerita sebagai diri mereka sendiri dengan penuh emosional, yang membuat buku itu secara komersil terjual lebih dua juta kopi dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.
Sebuah buku yang membuat Rusia marah dan menjadikan Svetlana sebagai target agen rahasia. Dia berkelana selama sepuluh tahun di beberapa negara untuk menghindari segala kemungkinan buruk sebelum Rusia pecah. Dia pernah tinggal di Jerman, Prancis, Italia, dan Swedia, dan kembali ke Minsk, ibukota Belarusia, ketika negara itu berpisah dengan Uni Soviet.
Beberapa bukunya yang lain adalah Voices from Chernobyl yang bercerita tentang bencana dahsyat di Ukraina tersebut, yang dampaknya hingga kini masih dirasakan oleh masyarakat di sana. Buku Zinky Boys, adalah balada para anak-anak korban perang di Soviet dan Afghanistan. Buku-bukunya selalu membuat marah Moskow karena investigasi yang dilakukannya dianggap hanyalah sebuah fitnah.
Hingga kini, ketika krisis Ukraina atau Gheorgia terjadi –dengan ikut campurnya Rusia ke kelompok sparatis— Svetlana tetap menuduh Rusia sebagai dalang pembunuhan. 8.000 orang tewas di Ukraina dalam krisis tahun 2014 lalu yang hingga kini belum selesai benar. Dan sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
“Saya mencintai Rusia, tetapi jika itu tanpa Josef Stalin, Lavrenty Beria, tanpa Sergei Shoigu. Jika tanpa mereka, Rusia akan lebih baik,” ujarnya.
Stalin dan Beria adalah dua “algojo” pembantaian massal jutaan rakyat Rusia setelah Perang Dunia II, sedang Shoigu adalah Menteri Pertahanan Rusia saat ini, yang mengambil inisiatif mempersenjatai pasukan sparatis di wilayah timur Ukraina.
Svetlana bukan hanya sebuah tamparan untuk eksistensi Rusia, tetapi juga dunia yang mengabaikan hak manusia untuk hidup hanya karena perbedaan suku, ras, agama, politik, dan wilayah administratif. Svetlana juga mengingatkan dunia sastra, bahwa sastra ternyata bukan hanya urusan bentuk: novel, sajak, cerpen, naskah drama, dan sebagainya. Atau pola pengucapan, rima, dan pencapaian estetik lainnya.
Bahwa karya jurnalistik dengan semangat kemanusiaan dan nilai sastra, juga bagian yang sangat agung. Jadi, sastra bukan hanya sebuah pesta dan perayaan verbal. Sastra adalah sebuah nilai kemanusian. Dan nilai kemanusiaan itulah yang mestinya menjadi ideologi yang diusung sastrawan. Ini yang juga menjadi “standar” Nobel selama ini. @harybkoriun
Majalah Swarndwipa, Edisi 140 Tahun 3 | 15 - 21 Oktober 2015