KOLOM HARY B KORIUN

Menulis (Membaca) 2

Perca | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:23 WIB

Menulis (Membaca) 2

MENGAPA sebuah karya menjadi hambar saja tanpa roh? Jika itu karya cerpen atau novel cinta (roman), maka ia hanya berisi perasaan yang menggebu orang yang sedang jatuh cinta, kesedihan yang mengharu-biru saat patah hati, atau perasaan-perasaan lainnya dengan segala konflik yang dibangun, yang tak memberikan bekas ketika kita selesai membacanya. Lalu, apakah karya-karya semacam itu tidak menarik untuk dibaca? Tentu boleh-boleh saja, karena setiap karya tentu memiliki pembaca, riwayat, dan jalannya sendiri-sendiri.

Misalnya, di tahun 1970-an sampai 1990-an, karya  novel populer di Indonesia amat sangat mendapatkan tempat di hati pembaca –yang tentu penggemar karya populer— yang bahkan hampir selalu diangkat ke layar lebar. Deretan pengarang populer ketika itu amat banyak, mulai karya populer yang diterbitkan penerbit besar semacam Gramedia Pustaka Utama dengan harga yang juga lebih mahal, sampai novel kelas kaki lima yang harganya jauh di bawah standar dengan kualitas cetakan yang juga apa adanya. Di deretan yang pertama terdapat nama-nama Teguh Esha dengan tokoh Ali Topan-nya, kemudian ada Ashadi Siregar dengan trilogi Cintaku di Kampus Biru, Edy D Iskandar, Mira W, Abdullah Harahap, Marga T, dan yang lainnya. Sementara di deretan kedua, nama pengarang Fredy S, Mila Karmila, Maria Francisca dan sebagainya –yang mungkin memakai nama samaran-- juga digemari pembaca kelas novel “kertas buram”.

Baca Juga :Napoleon (2)

Tak ada yang salah dengan karya-karya seperti itu. Tokoh Ali Topan milik Teguh Esha, misalnya, hingga kini tetap menjadi ikon anak muda yang sedang mencari jati diri dengan penampilan dingin, jins sobek di paha, gaya slenge-an, dan jadi idola banyak gadis. Begitu juga karya-karya Ashadi, hingga kini masih digemari. Sementara karangan Mira W atau Marga T, juga Titi Said, masih menjadi bacaan fiksi idola kaum wanita. Di generasi selanjutnya, karya-karya Hilman dengan serial Lupus-nya atau Zarra Zettira ZR plus beberapa pengarang lainnya, tetap dibaca orang.

Tapi, ketika sebuah karya ingin masuk ke wilayah yang lebih  “serius”, yakni sastra, maka roh dari karya itu harus dibangun dengan baik, dengan “isi” yang lebih serius, setting yang jelas, penokohan yang kuat, plot yang tak hanya mengandalkan kebetulannya, dan konflik yang dibangun tidak asal  jadi.  Memang, masih debatebel tentang beda karya populer dan sastra, dan ini sudah muncul jauh sebelumnya di masa awal dunia pengarangan Indonesia dengan istilah yang jelas: roman Balai Pustaka (dianggap serius dan bermatabat) dan “roman picisan” (dianggap bacaan kelas bawah) di masa kolonial hingga awal kemerdekaan.

Belakangan, beberapa sastrawan justru memunculkan sebuah paham “sastra pembebasan” yang ingin membebaskan makna dari kata dan karya. Banyak novel dan cerpen yang serius, tetapi hanya dibangun dengan kata-kata yang indah dan menyentak tanpa makna yang dalam dan tokoh yang jelas. Karya seperti ini juga tidak salah kalau kemudian berkembang, tetapi substansi dari sebuah karya yang baik yang memberikan pencerdasan kepada pembacanya tak ditemukan di sana. Yang didapati adalah kerumitan bahasa, yang seolah dengan semakin sulit  pembaca memahaminya, maka semakin sastra-lah karya tersebut.

Karya-karya besar dunia yang ditulis oleh Victor Hugo misalnya, meski dikenal dengan aliran romantiknya, tetapi tetap membawa kita pada sebuah pehamanan tetang banyak hal, baik secara harfiah maupun filsafatis. Bacalah Les Miserables (Orang-orang yang Menderita). Di sana kita akan menemukan sebuah kekuatan dahsyat sebuah cerita yang lengkap dan utuh dengan eksistensialime yang kental di hampir seluruh bagian cerita. Ada tokoh yang sepanjang hidupnya berjuang keras untuk mengubah nasibnya dari seorang pencuri roti hingga menjadi walikota dan tetap diburu polisi; ada seorang opsir polisi yang terlalu yakin dengan kebenaran yang absolut dengan segala konsekuensinya; ada seorang pelacur yang malang tetapi tetap yakin dengan segala kebaikan hidup;  ada pemuda revolusioner yang akhirnya mati ditembak tentara pemerintah;  seorang gadis yatim-piatu yang kehilangan orang-orang tercintanya; dan lainnya.

Hugo adalah satrawan penting Prancis abad 19 yang karyanya diakui kekuatannya, dan menjadi sumber inspirasi sastrawan lainnya seperti Alexander Dumas, Carles Augustin Sante-Beuve dan lainnya. Ciri romantik dalam karyanya tetap memiliki kekuatan dan bukan hanya cinta picisan.

Edgar Allan Poe merupakan sastrawan penting Amerika Serikat seangkatan Hugo dengan ciri khas detektif. Dalam beberapa prespektif, cerita detektif dianggap karya yang encer dan populer, tetapi di tangan Poe dia menjadi amat menarik, sangat filsafatis, penuh eksistenisalis dan berbobot. Pengarang-pengarang detektif setelahnya seperti Sherlock Holmes atau Agatha Cristie amat terpengaruh oleh gayanya yang tidak hanya menampilkan cerita detektif penuh darah, jebakan, pengkhianatan,  dan sebagainya, tetapi bermakna dengan problem kemanusiaan dan sosial yang mendalam.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook