KOLOM HARY B KORIUN

Menulis (Membaca) 2

Perca | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:23 WIB

Menulis (Membaca) 2

Novel Doctor Zhivago karya Boris Pasternak, juga sebuah karya dengan problem yang menyentuh tentang cinta, kemanusiaan,  dan persoalan politik di Rusia. Karya ini mulanya sangat dilarang di Rusia dan oleh karena itu justru diterbitkan di Italia yang kemudian mengantarkan Boris meraih penghargaan paling tinggi dalam sastra, yakni Nobel Sastra (1958). Pramudya Ananta Toer, saat masih berkuasa dengan Lekra-nya, pernah marah dengan novel ini dan menyerukan pembakaran atas  karya yang dianggap mengkritik habis komunisme ini. Inilah sisi hitam dari seorang Pram, yang  pernah dianggap sebagai ”pahlawan” dunia sastra kita karena di masa Orde Baru karya-karyanya dilarang terbit, tetapi justru diterbitkan di beberapa negara seperti Inggris atau Amerika Serikat.

Belakangan, dunia sastra Indonesia kebanjiran karya-karya terjemahan dari berbagai belahan dunia. Karya-karya Michael Ordeetji (penulis kelahiran Srilanka yang terkenal dengan novel English Patient yang kemudian difilmkan tahun 1996), Orhan Pamuk (sastrawan kelas satu Turki saat ini dengan salah satu karya adiluhungnya, Kars [Snow]), Leo Tolstoy, Vladimir Nabakov (yang mengguncang dunia lewat novel Lolita), Gabriel Garcia Marques (terkenal dengan One Hundred Years of  Solitute atau Seratus Tahun Kesunyian), Yasunari Kawabata (sastrawan Jepang yang sangat kuat),  Isabell Allende (novel terkenalnya adalah Of Love and Shadow, The House of The Spirits, dll) dan yang lainnya dengan berbagai genre.

Baca Juga :Napoleon (2)

Selain sastrawan dunia itu, Indonesia juga memiliki sastrawan besar bidang prosa atau puisi dengan karya-karya besar di zamannya. Misalnya Mochtar Lubis, WS Rendra, YB Mangunwijaya, Budi Dharma, Leila S Chudori, Ahmad Tohari, Koentowijoyo, atau sastrawan-sastrawan Balai Pustaka seangkatan Marah Rusli, Soeman Hs, Tulis Sutan Sati, Abdul Muis, hingga generasi Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, dan masih banyak lagi. Mereka menjadikan karya bukan hanya untuk konsumsi yang menyenangkan kepada pembacanya, tetapi memberi sesuatu yang lebih tentang problem kemanusiaan yang sudah semestinya ada dalam sebuah karya.

Penulis-penulis kontenporer seperti Seno Gumira Ajidarman, Sungging Raga, Laksmi Pamuncak,  Ayu Utami, Raudal Tanjung Banua, Eka Kurniawan, Gus Tf Sakai, Ratih Kumala, Zen Hae, dan yang lainnya, juga telah memberi warna dengan karya yang kuat dan matang dengan mengedepankan problem sosial dan kemanusian.

Di Riau, novel dan cerpen karya Hasan Junus, Rida K Liamsi, Taufik Ikram Jamil, Olyrinson, Fakhrunas MA Jabbar, Marhalim Zaini, Gde Agung Lontar (sekadar menyebut nama) dan yang lainnya memiliki kekuatan dan eksistensialisme masing-masing. Mereka bukan hanya memaparkan persoalan cinta yang remeh-temeh, tetapi problem masyarakat dari strata sosial paling bawah hingga persoalan elite yang sudah semakin kehilangan akal budi. Kemiskinan, ketidakadilan hukum, kerusakan ekologi, lunturnya budaya dan sebagainya, ditulis dalam karya yang kuat sehingga yang muncul bukan hanya kemarahan dan keputusasaan.

Yang menjadi persoalan adalah, apakah kita membaca karya mereka?***

Twitter: harybkoriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook