KOLOM HARY B KORIUN

Sjahrir

Perca | Jumat, 06 November 2015 - 17:49 WIB

Sjahrir

Dalam Perjuangan Kita, Sjahrir sering menyerang Soekarno dengan tulisan yang pedas dan agresif. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan." Kemudian, dia juga menulis. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita."

Tetapi, ketika dia menjadi perdana menteri, lalu melakukan banyak pertemuan dengan para pemimpin politik lainnya --termasuk melakukan diplomasi dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa-- dia sadar bahwa kemerdekaan 100 persen seperti yang diinginkannya sebelum Proklamasi 17 Agustus, memang perlu kesabaran, waktu, dan ikhtiar. Secara tidak langsung, dia “membenarkan” apa yang pernah dilakukan Soekarno ketika dekat dengan Jepang, bahwa untuk mendapatkan kemerdekaan itu perlu kesabaran dan kecerdasan, bukan dengan emosional.

Baca Juga :Napoleon (2)

Perjanjian Linggarjati 1946  oleh beberapa kalangan dianggap merugikan Indonesia karena Belanda hanya mengakui kemerdekaan atas Jawa, Sumatera, dan Madura; membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS); dan memasukkan Indonesia ke dalam Commonwealth/Persemakmuran dengan mengakui Ratu Belanda sebagai pemimpinnya. Perjanjian Linggarjati dianggap menjadi titik lemah dari seorang Sjahrir yang di masa pergerakan terlihat begitu radikal, garang, dan tanpa kompromi. Beda pendapat terus terjadi yang selalu menyudutkan Sjahrir, meski didukung Soekarno.

 Ini salah satu yang menjadi alasan Amir Sjarifuddin keluar dari PSI dan bergabung dengan Musso dalam pemberontakan PKI 1948. Musso terbunuh dalam pemberontakan itu, Amir dihukum mati. Sebuah tragedi politik ketika revolusi memakan anak sendiri.

Jalan diplomasi kemudian benar-benar menyadarkan Sjahrir tentang sebuah cita-cita “merdeka seratus persen”. Setelah tak lagi menjabat sebagai perdana menteri (Kabinet Sjahrir III), dia diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Sebelum ke New York, dia bersama KH Agus Salim mampir ke New Delhi dan Kairo untuk meminta dukungan India dan Mesir. 14 Agustus 1947, Sjahrir berpidato di depan sidang Dewan Keamanan PBB. Di sana, dia menjabarkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang berabad-abad memiliki peradaban, memiliki aksara dan bahasa sendiri, yang dieksploitasi kaum kolonial: Belanda.

Dia mematahkan argumen Eelco van Kleffens (Duta Besar Belanda untuk PBB) yang berpidato sebelumnya, bahwa Indonesia bukanlah sebuah tanah yang berperadaban sebelum mereka datang. Pidato inilah yang meyakinkan PBB ikut campur. Belanda gagal meyakinkan Dewan Keamanan bahwa pertikaian kedua belah pihak adalah “urusan dalam negeri”.

Sjahrir adalah sebuah kekuatan dan salah satu peletak dasar ideologi bangsa ini. Apa yang dikatakannya sebagai “belajar berevolusi, belajar menjadi bangsa merdeka, belajar menjadi manusia merdeka, belajar mengenal diri, belajar mengenal kelemahan diri, dan belajar mengenal dunia” adalah sebuah “ideologi” yang harus terus didengungkan.

Sjahrir telah memberi pelajaran penting bagi kita bahwa dedikasi untuk bangsa adalah segalanya, tanpa pamrih. Sikapnya yang teguh membela rakyat membuat dia harus merasakan kondisi yang pahit menjelang hayatnya. Dianggap berada di belakang PRRI, PSI yang selalu kritis terhadap pemerintah dibubarkan Soekarno. Pertikaian dua pendiri bangsa ini kemudian berujung pada penangkapan Sjahrir dan dipenjara tanpa diadili selama tiga tahun (1962-1965) sebelum mengalami stroke dan diizinkan berobat ke Zurich (Swiss). 9 April 1966 Sjahrir meninggal di Zurich masih dalam status tahanan negara. Namun, semua orang tahu siapa Sjahrir: dialah roh bangsa ini...@harybkoriun

Dimuat di Majalah Swarnadwipa, Edisi 143, November 2015









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook