Di belahan benua lainnya, di Amerika Latin, tepatnya di Kolombia, kisah perjuangan wartawan diceritakan oleh Maria Jimena Duzan, seorang wartawati Harian El Espectador, yang selamat dari teror kartel obat bius yang sudah mendarah-daging di negeri itu. Saking seringnya mendapatkan teror, dia sampai mengatakan, “Saya merasa seperti telah mendapatkan gelar Ph.D dalam soal kematian,” katanya, seperti ditulis Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir-nya di Tempo, 2 Juni 1990.
Kita semua tahu, negeri macam apa Kolombia dalam hal obat bius. Kita juga tahu, orang seperti apa Pablo Escobar yang menjadi bos dari semua bos obat bius di sana, tepatnya di kota yang dikuasainya: Medellin. Dia tak hanya ditakuti oleh sesama kartel, tetapi juga ditakuti oleh tentara dan pejabat pemerintah. Bahkan banyak dari mereka yang akhirnya memilih bekerja sama menikmati bisnis itu.
Banyak jurnalis yang mati karena mencari tahu dan menulis tentang obat bius. Lima wartawan investigasi rekan Maria di El Espectador mati terbunuh; kantor El Espectador dibom, yang membuat Maria memutuskan untuk hidup di pengasingan, di Paris, dengan membawa kesedihan, kemarahan, kegeraman. Sebab, salah satu wartawan yang mati itu adalah adik kandungnya sendiri: Sylvia Jimena Duzan.
Veronica, Maria, Sylvia, dan ratusan jurnalis lainnya di seluruh dunia, telah menjadikan dunia jurnalistik sebagai jalan perjuangannya, “jalan pena”, seumpama “jalan pedang” yang dipilih Musashi, tokoh rekaan Eiji Yoshikawa yang melegenda itu. Para wartawan itu rela mempertaruhkan nyawanya.
Namun di belahan dunia yang lain, ketika kebebasan pers dibuka dan siapa saja boleh memiliki media massa, “jalan pena” itu sudah semakin absurd. Media mudah kalah oleh mafia pengadilan, mafia anggaran, kekuasaan yang anti-kritik, maupun para penjahat kerah putih yang berada di mana-mana, yang menyaru menjadi ustadz atau pendeta.
Di negara yang baru belajar demokrasi itu, kebebasan pers baru sekadar sebuah kenikmatan, belum menjadi sebuah jalan pena. Belum menjadi sebuah jalan hidup.@harybkoriun
Majalah Swarnadwipa, Edisi 142, Oktober 2015