“Dalam Hikayat Hang Tuah, kita dituntun untuk memilih menjadi siapa di antara dua tokoh sentral ini, Hang Tuah atau Hang Jebat. Hang Tuah dengan pendiriannya membela pimpinan. Siapapun yang ‘melawan arus’ titah Sultan akan dibinasakannya, termasuk kawan baiknya dari kecil, Hang Jebat. Sementara itu, Hang Jebat yang katanya sang pengkhianat, mengambil sikap Raja alim, raja disembah. Raja zalim, raja disanggah dan Jebat pun rela mati atas sikapnya,” ujar Hang Kafrawi.
Selain itu, lanjut Hang Kafrawi bahwa Hang Tuah melakukan ini bukan untuk kesenangan pribadinya. Marwah sebagai laksemana, sebagai orang Melayu yang menjunjung janji bersetia kepada Raja, tak bisa ditawarkan dengan apa pun juga. Bukannya ia tidak tersiksa setelah kematian Hang Jebat, sehingga dia pun menghilang dari kerajaan. “Disinilah pelajarannya, kalau Hang Tuah berpikir hanya untuk kesenangan dirinya, maka Hang Tuah pun akan terus ‘menjilat’ sultannya. Namun hal itu tidak dilakukan Hang Tuah, dia mengambil sikap menyingkir dari kemewahan istana,” lanjut ketua Prodi Sastra Indonesia FIB Unilak itu.
Begitu juga Hang Jebat, dia mengambil sikap melawan Sultan bukan untuk kesenangan dirinya. Sebagai orang Melayu, Hang Jebat menjunjung tinggi persahabatan dan melawan kezaliman sampai darah penghabisan. Kalaulah Hang Jebat nak bersenang sendiri, maka jabatan yang dia sandang akan dipergunakan untuk kemewahan dan kesenangan berlimpah. Tapi itu tidak dilakukan Hang Jebat. Hang Jebat tahu betul, bahwa persahabatan dan marwah sebagai orang Melayu tidak dapat dikalahkan dengan apapun juga, termasuk kesenangan pribadi.
“Nah, kita tinggal memilih menjadi siapa di zaman kenen ke. Membiarkan kezaliman terus perkasa atau ‘melawan arus’ yang selalu mengorbankan kesenangan pribadi? Tepuk dada, tanya selera. Kita yang menentukan nasib kita, bukan orang lain,” tutup Hang Kafrawi.
