JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rabu (6/4/2022), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) selesai dibahas Panja Baleg DPR RI. Substansi RUU berkembang sangat progresif atas masukan dan keterlibatan advokasi masyarakat sipil terutama lembaga layanan sejak tahun 2015.
Forum Pengada Layanan (FPL) sebagai penggagas RUU TPKS mendorong keterlibatan peran lembaga layanan di seluruh Indonesia untuk mendokumentasikan kasus kekerasan seksual (KS), menangani hingga menyusun draf awal RUU TPKS. Harapan terhadap kebijakan ini adalah mampu menjawab persoalan pengalaman korban yang berbeda di setiap daerah. FPL sebagai salah satu penggas RUU TPKS yang mendorong DPR untuk memasukannya sebagai Prolegnas (ketika itu: RUU PKS) sejak tahun 2016, dan terus mengawal proses legislasi sejak 2017-2022.
Pada 2019 FPL bersama jaringan lainnya tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil (JMS), tiada henti terus mengawal proses legislasi RUU TPKS hingga saat ini. Maka dari itu, FPL, JMS dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi Panja RUU TPKS Baleg RI yang menyelenggarakan proses pembahasan RUU TPKS dengan memberi ruang partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan.
“Hal ini dibuktikan dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun oleh FPL dan JMS pada tanggal 8 Oktober 2021 dan 27 Maret 2022 telah kami serahkan ke badan legislasi dan diterima dengan baik. Kami juga mengapresiasi pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi Tim Sinkronisasi dan Tim Perumus Panja RUU TPKS yang progresif sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual. Termasuk perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual," ujar anggota JMS, Mike Verawati.
Dari hasil pembahasan tersebut, ujar Mike, ada beberapa hal penting yang dicatat pihaknya sebagai capaian, yaitu: pertama, RUU TPKS telah memasukan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.
Kedua, masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban KS.
“Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan pusat layanan terpadu,” ujar Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia itu.
Ketiga, adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.
Keempat, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.
Kelima, adanya ketentuan yang melarang pelaku KS untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum.
“Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban KS agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku,” ungkap Mike.
Keenam, Adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli, dan pendamping korban.
Selain capaian-capaian di atas, ujar Mike, pihaknya mencatat pula beberapa hal yang masih perlu mendapatkan perhatian DPR RI dan Pemerintah, yaitu: pertama, belum masuknya tindak pidana perkosaan dalam RUU TPKS sebagai bagian tak terpisahkan dari kekerasan seksual itu sendiri, membuat RUU TPKS kehilangan kekhususannya untuk mengatur tindak pidana kekerasan seksual secara spesifik. Oleh sebab itu, pengaturan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual penting untuk dimasukan ke dalam RUU TPKS karena merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi dengan menggunakan modus, cara, dan alat, yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para perempuan dan anak korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, termasuk kelompok rentan, seperti anak-anak, penyandang disabilitas, korban dalam keadaan tidak berdaya, orang yang tak sadarkan diri atau orang dalam keadaan pingsan, koma, dan/atau keadaan di mana tidak dapat memiliki kapasitas atau kompetensi untuk memberikan persetujuan. “Sementara Catahu Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang 2021 terdapat 2.363 kasus kekerasan seksual di ranah personal dengan 597 kasus merupakan perkosaan,” ungkap Mike.
Kedua, berdasarkan hasil evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait kekerasan seksual. Disebutkan dalam naskah akademik RUU TPKS DPR, tujuan dari RUU TPKS adalah terwujudnya peraturan perundang-undangan tentang penghapusan kekerasan seksual pada akhirnya akan menjadi undang-undang yang bersifat khusus (lex specialist derogate lex generali) terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku.