JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Dugaan keterlibatan mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi proyek PLTU Riau 1 coba diurai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Senin (27/8), KPK memeriksa Setnov sebagai saksi untuk tersangka Johannes B Kotjo. Setnov diduga mengetahui proyek kakap senilai 900 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp12,6 triliun itu.
Sebelumnya, dari informasi yang diperoleh Jawa Pos (JPG), Setnov diduga menerima aliran uang dari Kotjo. Uang itu ditengarai bagian dari bisnis “jualan pengaruh” untuk proyek yang digarap perusahaan Kotjo, Blackgold Natural Resources Ltd. Modusnya, perusahaan tersebut menjanjikan komitmen fee untuk ijon proyek. Setelah proyek didapat, barulah komitmen itu direalisasikan.
Modus semacam itu pernah dibongkar KPK saat mengusut perkara korupsi KTP-el. Dan, Setnov terbukti menjadi aktor di balik korupsi itu. Dia telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Mantan ketua umum Partai Golkar itu dihukum penjara 15 tahun dan denda Rp500 juta serta uang pengganti 7,3 juta dolar AS dikurangi Rp5 miliar. Hak politik Setnov juga dicabut selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.
Lalu apakah peran Setnov dalam perkara proyek PLTU Riau 1 sama dengan kontruksi KTP-el? Wakil Ketua KPK Laode M Syarif belum bisa menjelaskan secara detail sejauh mana peran Setnov dalam perkara PLTU berkapasitas 2x300 mw. Namun, dia memastikan penyidik telah mengantongi informasi bahwa Setnov memang mengetahui proyek listrik ini.
“Informasi awal yang didapatkan penyidik, Pak Setya Novanto dianggap mengetahui tentang proyek ini, cerita secara umumnya saja,” jelasnya di gedung KPK, kemarin.
Informasi itu diperoleh dari hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik beberapa waktu lalu. “Oleh karena itu penyidik berkepentingan meminta keterangan dari yang bersangkutan (Setnov) agar lebih jelas,” jelasnya.
Laode mengakui, kasus ini memang digarap satuan tugas (satgas) yang terdiri dari penyidik-penyidik senior yang mumpuni. Namun, pihaknya tidak mau terlalu jauh membeda-bedakan kemampuan penyidik di KPK. Terutama terkait senioritas maupun pengalaman mereka menangani kasus-kasus kakap, seperti KTP-el. “Mau senior atau junior, mereka (semua, red) mumpuni,” ucapnya.