Mobil terus melaju dengan kecepatan yang agak berkurang dari sebelumnya, menerobos jalanan berdebu menguning. Kami kemudian sampai di depan SMP 1 Sabu Tengah, lalu berhenti di sebuah rumah di seberangnya.
Saya belum tahu mengapa mobil harus berhenti di situ. Benar-benar ada masalah dengan mesin?
“Itu...” kata Bang Brother. “Ingin melihat proses pembuatan gula lontar, kan?” katanya lagi.
Saya baru tersadar ketika melihat ada plang papan nama di depan rumah tersebut bertuliskan “Kelompok Tani Suka Maju”, lalu ada tulisan “Gula Semut, Tanpa Bahan Pengawet” di bawahnya. Lalu di bagian paling bawah tertulis alamat: Dusun II, Desa Eilode, Kecamatan Sabu Tengah.
Kami –saya dan Bang Brother— kemudian mengetuk pintu. Lalu seorang anak perempuan membukakan pintu. Bang Brother bertanya dengan bahasa Sabu, apakah ibu atau bapak ada di rumah. Si anak perempuan itu –kemudian saya tahu namanya Dai Ovian Uy— menggeleng. Karena tak mungkin menunggu lama, akhirnya Bang Brother bilang bahwa kami ingin melihat proses pembuatan gula lontar. Kami kemudian diajak ke dapur bagian belakang. Terlihat di sana ada dua tungku api dengan bahan kayu yang sedang merebut air lontar di dua buah kuali besar.
Ovian adalah anak kedua dari Yuniarti Bale Bone. Gadis 13 tahun itu masih duduk di kelas 1 SMP 1 Sabu Tengah. Gedung sekolahnya tepat berada di depan rumahnya.
Kata Ovian, perlu lebih lima jam air buah lontar itu direbus sebelum nantinya menjadi gula curah (gula khas Sabu). Untuk menjadikannya sebagai gula semut (gula pasir/brown sugar), gula curah itu direbus lagi hingga airnya kering. Prosesnya memakan waktu yang lama, sementara harga gula di pasaran tidak terlalu mahal. Untuk 1 kg gula semut, berkisar antara 10-15 ribu. Harga gula curah/cair juga tak jauh dari itu.
“Sehari bisa menghasilkan berapa kilogram di sini?” tanya saya kepada Ovian.
“Sekitar 10 kg,” jawabnya.
“Bahan bakunya dari sini juga?”
Dia kemudian menunjuk pohon-pohon lontar yang tingggi menjulang di belakang rumah. “Ada yang dari pohon di tempat lain juga,” jawabnya lagi.