PERJALANAN KE PULAU KARANG (17)

Masa Lalu Menyedihkan Membuat Yulius Berjuang untuk Masyarakat Raijua

Feature | Jumat, 24 Januari 2020 - 15:12 WIB

Masa Lalu Menyedihkan Membuat Yulius Berjuang untuk Masyarakat Raijua
Yulius Boni Geti (kiri) dan Jefrison Hariyanto Fernando, dua anak muda Kabupaten Sabu Raijua yang berjuang untuk pendidikan dan kemakmuran masyarakat kabupaten di dua pulau tersebut. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Di Kupang, Yulius menemukan pujaan hatinya. Gadis itu bernama Yorli Ch Frans, anak dari keluarga mapan, guru PNS asal Pulau Rote yang sudah lama tinggal di Ibukota NTT tersebut. Seorang sarjana keguruan lulusan FKIP Universitas Nusa Cendana, Kupang. Keduanya mulai dekat dan pacaran pada tahun 2010 dan mereka menikah pada 15 Mei 2015 lalu. Mereka kini sedang menunggu kelahiran anak ketiga setelah sebelumnya sudah lahir sepasang putra-putri, Elischa Hiyama Frans (8 tahun), dan Benlich Lifent Boni Geti (4 tahun). Setelah menikah, Yorli dibawa ke Raijua bersama anak-anaknya untuk menjaga ibunda Yulius yang mengalami stroke.

Yulius mengaku Yorli adalah karunia dari Tuhan. Perempuan itu tak mengeluh sedikit pun tinggal di pulau karang yang tandus dan sering kesulitan air tersebut. Saat mereka pacaran, Yulius sudah menjelaskan kepada Yorli tentang kemiskinan dan segala kekurangan keluarganya, dan Yorli bisa menerimanya. Tetapi untuk tinggal di pulau itu, mungkin belum pernah terpikirkan olehnya. Saat saya pergi ke Raijua dan bertemu dengan Yorli dan anak-anaknya, dia mengaku senang bisa menjaga orangtua Yulius, meski sering ditinggal suaminya ke Pulau Sabu karena tugasnya sebagai wartawan di sana.


Yorli meninggalkan “kemewahan”  dan kehidupan mapan yang didapatkannya bersama orangtuanya di Kupang mengikuti suaminya tinggal di Raijua. Di pulau yang sering kekurangan air dan kesulitan untuk mandi, hal yang tak pernah didapatnya selama di Kupang. Di sana, dia bisa mandi sehari tiga kali atau sesuka hatinya. Di Raijua, air harus dihemat untuk keperluan makan dan minum.

Tahun 2017, Yorli masuk menjadi guru kontrak di SD Negeri 1 di Ledeke dengan gaji per bulan Rp1.500.000.  Namun dia harus berangkat dan pulang dari Ballu ke Ledeke dengan berjalan kaki sejauh lebih 10 kilometer. Kadang ada tumpangan motor dari kenalan, tetapi lebih sering jalan kakinya. Tapi perempuan kota itu tak pernah mengeluh apa-apa ke suaminya. Di pertengahan 2018, Yulius membelikan motor baru untuk istrinya lewat cicilan. Kendaraan itu sangat membantu istrinya agar tidak jalan kaki jauh lagi setiap hari saat mengajar ke Ledeke.

Di Sabu, Yulius terus memperjuangkan agar status istrinya bisa berubah menjadi PNS lewat jalur pengangkatan guru kontrak/honorer. Dia melobi ke Kepala Dinas Pendidikan hingga ke Bupati Sabu Raijua. Namun, tak pernah berhasil.  Jawaban mereka, harus ikut prosedur. Tetapi, sekali lagi, Yulius merasa pengorbanan istrinya tak sia-sia, dan  --lagi dia mengatakan itu anugerah dari Tuhan--  semua sudah diatur oleh Yang Kuasa. Pada ujian penerimaan CPNS pada Desember 2018 lalu, sang istri lulus sebagai calon guru ASN.

“Tak banyak perempuan yang seperti itu. Perempuan kota yang hidup mapan dan tak perlu kerja keras, tapi mau tinggal di daerah tandus seperti ini... Kamu beruntung memiliki istri seperti dia,” kata saya kepada Yulius ketika kami berada di atas kapal dalam perjalanan pulang dari Raijua ke Sabu, pada 21 Mei.

“Iya Bang... Saya bersyukur. Semoga anak-anak kami nanti menemukan hidup lebih baik dari kami...” jawab Yulius sambil menatap istri dan kedua anaknya yang duduk tak jauh darinya.(bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook