PERJALANAN KE PULAU KARANG (17)

Masa Lalu Menyedihkan Membuat Yulius Berjuang untuk Masyarakat Raijua

Feature | Jumat, 24 Januari 2020 - 15:12 WIB

Masa Lalu Menyedihkan Membuat Yulius Berjuang untuk Masyarakat Raijua
Yulius Boni Geti (kiri) dan Jefrison Hariyanto Fernando, dua anak muda Kabupaten Sabu Raijua yang berjuang untuk pendidikan dan kemakmuran masyarakat kabupaten di dua pulau tersebut. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Yulius diterima di SMA 1 Sabu Barat, di Kelurahan Mebba. Dia tinggal di asrama bersama puluhan anak-anak kurang mampu lainnya yang dibiayai Pastor Franz. Sang Pastor tidak selalu berada di Sabu karena juga bertanggung jawab untuk kepastoran di Pulau Rote. Oleh sang Pastor, agar anak-anak punya uang jajan, mereka diikutkan bekerja membuat gorong-gorong, sebuah usaha yang dikembangkan olehnya baik di Sabu maupun di Rote. Satu gorong-gorong dibayar 5 ribu rupiah ketika itu. Jika misalnya sehari sepulang sekolah bisa membuat 5 gorong-gorong, berarti mereka mendapatkan Rp25.000. Uang itu dibagi rata untuk semua yang ikut bekerja.

“Sebenarnya itu tidak dipaksa, siapa yang mau saja. Tapi itulah jalan yang diberikan Pastor Franz kepada kami agar kami tidak jadi anak pemalas...”


“Ada yang tak ikut bekerja?”

“Hampir semuanya ikut. Kalau tidak ikut ya tak punya uang jajan dan ketika kami di sekolah bisa pergi ke kantin, mereka hanya menonton,” katanya sambil tersenyum mengingat masa itu.

Lalu, setelah SMA, lulus tahun 2001, Pastor Franz mengatakan, jika ada yang ingin melanjutkan kuliah, semampu dia akan dia bantu. Yulius bersama lima temannya (dua perempuan dan 4 lelaki) berangkat ke Kupang untuk ikut tes di perguruan tinggi. Pesan Pastor Franz, mereka sebaiknya kuliah di jurusan guru, yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (FKIP). Pastor Franz ingin mereka menjadi guru dan nanti kembali ke desanya masing-masing menjadi guru. Pastor ingin anak-anak Sabu Raijua ikut membantu masyarakatnya keluar dari buta aksara. Membantu anak-anak agar pintar. Namun, tak semuanya mengikut kemauan sang Pastor. Yulius sendiri akhirnya kuliah di Jurusan Administrasi dan Bisnis Politeknik Negeri Kupang.

Ketika itu dia sampaikan ke Pastor Franz, sang Pastor teriak, “Mengapa kuliah di jurusan itu? Para pebisnis itu banyak yang hidupnya menjadi penipu!” kata Yulius menirukan perkataan Pastor Franz ketika itu. Meskipun kurang berkenan dengan pilihan Yulius, tetapi Pastor Franz tetap membiayainya hingga tamat tahun 2004.

“Pastor Franz seperti malaikat yang menyelamatkan hidup saya hingga saya bisa mendapatkan pendidikan layak,” jelas Yulius.

Selama kuliah hingga tamat, Yulius masuk berbagai organisasi kemahasiswaan maupun kemasyarakatan.  Selama jadi mahasiswa dia masuk ke organisasi mahasiswa luar kampus, yakni Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Di sanalah dia belajar hidup berorganisasi. Dia juga aktif di  Perhimpunan Mahasiswa Asal Sabu (Permasa). Mereka pernah membuat seminar bertema “Mencari Format Pembangunan Sabu”. Bupati Kabupaten Kupang (induk Sabu Raijua sebelum mekar), Ibrahim Agustinus Medah, diundang.

Seminar ini dilaksanakan tahun 2005 dan menjadi dasar dan pintu masuk  pemekaran Sabu Raijua dari Kabupaten Kupang, meski realisasi Sabu Raijua menjadi kabupaten terjadi empat tahun kemudian, 2009. Sejak seminar itu dilaksanakan, Pemprov NTT membentuk sebuah panitia atau tim pembentukan Kabupaten Sabu Raijua.

Praktis, setelah tamat tahun 2004 dari Politeknik Negeri Kupang, Yulius hidup dari organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tahun 2006-2008 dia bekerja sebagai surveyor di sebuah LSM yang bergerak di bidang kependudukan sebelum akhirnya tergiur untuk terjun ke politik. Saat Pemilu 2009 di pulang ke Sabu dan aktif di Partai Pemuda Indonesia (PPI). Dia kemudian mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk DPRD Kabupaten Kupang di Dapil V Semau dan Sabu. Sayangnya dia kalah dan gagal duduk. Hanya dapat 222 suara. Dia bilang, ketika itu hanya bermodalkan semangat saja, tanpa mengeluarkan uang sepersen pun.

“Dapat uang dari mana?” katanya sambil tertawa.

Ketika Sabu Raijua resmi dimekarkan menjadi kabupaten pada tahun 2019, Yulius ikut dalam tim pemenangan Marthen Luther  Dira Tome sebagai calon bupati pada Pilkada pertama Kabupaten Sabu Raijua tahun 2010. Namun ketika Marthen Luther terpilih, dia menjauh dari kekuasaan dan malah kembali lagi ke Kupang, bekerja di LSM Rumah Perempuan. LSM tersebut melakukan advokasi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

Selama dua tahun, 2010-2011, dia ditempatkan di dua desa, yakni Desa Noibaki dan Tuapukau di Kupang. Hingga kemudian dia diterima bekerja sebagai wartawan di Harian Victory News pada Februari 2012 dan meminta ditempatkan di Sabu Raijua agar bisa dekat dengan keluarganya, termasuk ibunya yang sudah mulai sakit-sakitan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook