Sudah menjadi hal yang biasa di Raijua kalau puncak musim kemarau menjadi musim paceklik bagi perekonomian masyarakat, terutama yang mengandalkan hidup dari alam atau pertanian. Di saat musim hujan yang pendek, ayahnya masih bisa menanam jagung, sorgum, atau kacang-kacangan. Mereka masih bisa makan lumayan enak, termasuk nasi, yang berasnya dibeli dari menjual kacang-kacangan atau jagung. Tetapi saat kemarau panjang, mereka hanya bisa mengolah gula lontar.
“Kami pernah seharian selama berhari-hari hanya minum gula lontar...” ujarnya dengan getir.
“Tak ada makanan?”
“Iya. Tak ada beras atau yang lainnya. Bahkan air minum juga terbatas...” jawabnya.
“Tahan hanya minum gula lontar selama seharian? Berapa kali minum seharinya?” saya lagi.
“Sehari minum sekali, itu pun tak sampai setengah gelas...”
Ya Tuhanku!
Perjalanan hidup yang keras sejak kecil membuat Yulius tumbuh menjadi lelaki yang kuat. Dia menamatkan SD hingga SMP di Raijua. Sebenarnya, kata dia, ayah dan ibunya tak punya banyak dana untuk menyekolahkan dirinya, juga sang adik Parmenas Boni Geti. Namun dia tahu, Tuhan selalu memberikan banyak jalan jika kita punya kemauan. Karena kondisi itu, sejak kelas 4 SD dia diajak tinggal dan disekolahkan oleh pamannya (adik ayahnya), Marthen Luther Boni Geti dan istrinya, Welmintje Biha. Keduanya adalah guru PNS di SD GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor), sekolah milik persekutuan gereja tetapi guru-gurunya banyak yang statusnya pegawai negeri. Sang paman dan istrinya banyak membantu sekolah anak-anak di sekitar rumahnya, termasuk kebutuhan makan mereka. Di tengah kondisi kritis di musim kemarau, Yulius dan anak-anak yang dibiayai pamannya sering hanya makan bubur beras setiap harinya. Maklumlah, selain gaji yang kecil, mereka juga mendapat jatah beras sebagai PNS yang tak banyak. Tapi, bagi Yulius, itu sudah lebih mewah dibanding hanya minum gula lontar di rumahnya.
Setamat SMP, tantenya (istri sang paman, Welmintje Biha), membawanya ke Pulau Sabu untuk masuk SMA. Mereka harus mengarungi lautan dengan kapal perahu selama 5 jam. Belum ada kapal ASDP atau kapal cepat bantuan pemerintah seperti sekarang, ketika itu. Welmintje punya kenalan sesama guru yang tinggal di Sabu. Di Seba tepatnya. Awalnya Yulius akan dititipkan di rumah sang teman tantenya yang punya toko. Welmintje minta tolong agar Yulius bisa tinggal di sana dan sepulang sekolah bisa membantu di toko. Namun, karena badan Yulius saat itu masih kecil dan ringkih, teman tantenya itu tak mau mempekerjakan Yulius.
“Tante nyaris putus asa ketika itu dan kami nyaris kembali ke Raijua dengan keputusan saya tak melanjutkan sekolah...” ujar Yulius. Saya melihat kedua matanya agak mengembang. Dia seperti menahan untuk tidak menangis. Beberapa saat kemudian dia mengerjapkan kedua matanya.
Namun, di tengah nyaris putus asa tersebut, sang tante mendengar dari cerita beberapa temannya soal Pastor Franz Lackner SVD, lelaki asal Austria di Gereja Katolik Sabu, yang membiayai anak-anak tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Mereka kemudian berjalan kaki ke gereja itu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari pelabuhan. Dan Tuhan akhirnya memberikan jalan yang terbaik baginya. Pastor Franz menerimanya. Jadilah dia tinggal di asrama gereja Katolik. Meski Yulius beragama Protestan –agama mayoritas di Sabu Raijua-- namun tak ada masalah. Pastor Franz tak pernah membeda-bedakan anak-anak yang dibantunya dari agama, etnis, dan perbedaan lainnya.