PERJALANAN KE PULAU KARANG (13)

Mereka Tak Ingin Anak-Anak Raijua Hidup dalam Kebodohan

Feature | Minggu, 19 Januari 2020 - 14:37 WIB

Mereka Tak Ingin Anak-Anak Raijua Hidup dalam Kebodohan
Roni Pau Djema dan Jefrison Haryanto Fernando, dua inisiator Taman Bacaan GPS (Gerakan Peduli Sesama) di Raijua. Mereka ingin anak-anak di Raijua pandai menulis, membaca, dan memahami dunia meskipun berada di pulau terpencil. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Inilah markas Taman Bacaan GPS (Generasi Peduli Sesama) “milik” Nando. Salah satu tempat yang menjadi tujuan saya ke Raijua. Sebuah bukti perjuangan Nando dan masyarakat Ledeke untuk ikut mengeluarkan anak-anak dan masyarakat dari buta aksara dan pengetahuan.

***

“SAYA sudah bertekat, anak-anak di Ledeke, juga Raijua secara umum,  harus pandai membaca dan menulis, punya pengetahuan luas, dan kelak harus sekolah tinggi. Agar tidak bodoh seperti saya...”


Namanya Roni Pau Djema. Ketika saya datang bersama Nando dan Yulius, dia sudah berdiri  di teras rumahnya yang asri itu. Setelah bersalaman dan saya memperkenalkan diri, dia bercerita ihwal dirinya bersedia rumahnya menjadi “markas” GPS. Sebelumnya Nando bercerita bahwa dia tak perlu merayu Roni. Nando mengenal Roni, mereka bercerita tentang dunia pendidikan di Raijua, lalu Nando mengutarakan keinginannya untuk mendirikan semacam taman bacaan dan taman bermain bagi anak-anak di Raijua, terutama di Desa Ledeke.

“Bang Roni langsung setuju dan bersedia rumahnya jadi bace camp,” ujar Nando sebelumnya.

 Roni lahir di Ledeke, 25 Mei 1977. Asli Raijua. Saat saya bertanya tentang jenjang pendidikan yang dilaluinya, dia tersentak, meski terlihat hanya sekilas. Lalu, katanya, “Saya tak tamat SD...”

Saya berusaha menurunkan intonasi bicara. Dia kelihatan sedih. Namun kemudian dia bercerita panjang. Baginya, menjadi sebuah kehormatan ketika rumahnya bisa menjadi tempat bagi cita-cita mulia untuk kemajuan pendidikan di Raijua. Dia menyediakan teras rumahnya yang luas ini untuk kegiatan apa pun yang dilakukan oleh Nando dkk.

 Sambil sesekali menggunakan bahasa Sabu yang terpaksa saya minta Nando menerjemahkan, Roni menyesal karena dulu tak mau melanjutkan sekolah sehingga dia tak sepintar teman-teman seangkatannya. Dia lebih suka bermain ke sana-sini. Namun, dalam hidupnya, dia tak kenal istilah patah arang.

 Suami dari Novi ini seorang pekerja keras dan ulet. Saat ini dia punya usaha jual-beli rumput laut masyarakat Raijua. Omsetnya sudah lumayan. Namun, di tengah kondisi ekonominya yang membaik ini, Roni merasa ada yang kurang dalam dirinya. Dia tetap merasa menyesal mengapa dulu tidak sekolah tinggi.

Maka, ketika setahun lalu, 2018, Nando datang dan meminta izin agar rumahnya boleh dijadikan tempat untuk Komunitas Baca GPS, Roni tak banyak berpikir. Dia langsung mengiyakan. Maka, dirancanglah sebuah jadwal pertemuan untuk anak-anak tersebut di setiap hari Rabu. Nando kemudian menghubungi beberapa temannya di Kupang, Jakarta, Bali, dan sebagainya agar mau membantu mengirimkan buku-buku untuk mereka. Kemudian datanglah buku-buku tersebut. Banyak buku bacaan anak-anak, juga buku-buku lainnya seperti novel, buku puisi, pengetahuan umum, dan sebagainya.

“Saya senang melihat anak-anak membaca dan belajar di sini,” kata Roni.

 Berjalan beberapa bulan, jumlah anak-anak yang datang dan berkumpul semakin banyak. Mereka ada yang sudah bisa membaca dan ada yang belum. Yang sudah bisa membaca, mereka membaca buku-buku teks. Sedang yang belum, mereka melihat-lihat gambar dalam buku yang ada. Mereka tidak hanya anak-anak  Desa Ledeke, tetapi juga dari beberapa desa lainnya, termasuk desa tetangga, Bolua.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook