PERJALANAN KE PULAU KARANG (13)

Mereka Tak Ingin Anak-Anak Raijua Hidup dalam Kebodohan

Feature | Minggu, 19 Januari 2020 - 14:37 WIB

Mereka Tak Ingin Anak-Anak Raijua Hidup dalam Kebodohan
Roni Pau Djema dan Jefrison Haryanto Fernando, dua inisiator Taman Bacaan GPS (Gerakan Peduli Sesama) di Raijua. Mereka ingin anak-anak di Raijua pandai menulis, membaca, dan memahami dunia meskipun berada di pulau terpencil. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Selain Jubah Maja, juga ada Baju Maja. Baju Maja ini adalah baju yang tingkat kekeramatannya tak setinggi Jubah Maja. Baju Maja dipakai oleh Deo Rai Nadega setiap kali ritual Daba Ae dan Dai Wei. Dipakai dua hari saja dalam setahun. Deo Rai  Nadega yang terletak di Desa Bolua, saat ini dipegang oleh Nyale Dea dari Udu Nadega.

Di Pulau/Kecamatan Raijua memiliki dua orang Deo Rai, yakni Deo Rai Nadega dan Deo Rai Nadaibu. Deo Rai Nadega dengan pusat pemerintahan adatnya bernama Kampung Adat dan Megalitik Nadega, dengan rumah jabatan bernama Heo Bona, di Bolua. Sedangkan Deo Rai Nadaibu punya pusat pemerintahan dengan nama Kampung Adat dan Megalitik Nadaibu, dengan nama rumah jabatan Heo Katti. Saat ini yang menjadi Kepala Adat Nadaibu atau Deo Rai Nadaibu adalah Pau Dea dari Udu Nadaibu.


“Di Sabu dan Raijua, segala sesuatu yang dilakukan manusia sudah ada aturan adatnya. Dengan mengikuti tatanan adat, kehidupan masyarakat  di sini hingga kini tetap terjaga dengan baik,” kata Nando saat kami berjalan keluar dari Kompleks Sumur Maja.

Meninggalkan Kompleks Sumur Maja, kami bertiga kemudian menuju ke arah barat, ke arah wilayah perbukitan. Mulanya kami melewati jalan aspal, tetapi tak sampai 1 km, kembali ke jalan bebatuan. Di kanan-kiri terlihat tanah berbatu karang yang di sela-selanya ada tanaman sorgum yang mulai menguning. Hanya sorgum yang bisa tumbuh di tanah tandus seperti ini karena tanaman ini terbiasa hidup di Afrika dengan kebutuhan air yang minimalis.

Semakin ke atas, pemandangan terlihat semakin indah. Kita bisa melihat laut yang biru, juga padang savana yang tandus dengan berbagai jenis ternak di sana yang berusaha memakan rumput yang mulai mengering. Keindahan yang terlihat oleh mata kadang tak memperlihatkan aslinya. Kamuflase. Ada beban yang tak terlihat. Ada penderitaan yang tak terlihat. Semua tertutup oleh pemandangan indah yang menyelimuti. Itu mungkin. Mungkin saja tidak.

Motor yang dikendarai Nando mulai masuk ke jalan cor semen dua beriring. Maksudnya, di jalan tersebut ada dua cor semen untuk dua ban mobil. Tentu motor harus memilih salah satu. Kami sudah memasuki Desa Ledeke. Dari tepi Pelabuhan Raijua tadi, jaraknya sekitar 3-4 km. Semakin ke bawah jalanan semakin sulit, tetapi Nando –juga Yulius yang sudah berada di depan--  berusaha mengendarainya dengan baik meski sering oleng ke kanan-kiri. Saya yang duduk di belakang harus ekstra kuat berpegangan.

Sampai kemudian tibalah kami di jalan tanah setapak berbatu yang semestinya tak bisa dilewati oleh motor.

“Apakah saya perlu turun?” tanya saya ke Nando.

“Tak perlu, Bang. Aman,” jawabnya.

Kata “aman” itu tak serta-merta membuat saya merasa aman dan nyaman di sadel belakang. Sebab, beberapa kali saya nyaris jatuh dan harus berpegang pada pinggang Nando yang sedikit subur.

“Ini ekstrim,” kata saya kemudian.

“Raijua memang ekstrim, Bang,” jawabnya lagi sambil tertawa. “Ini belum seberapa dibanding bagaimana penduduk di sini berjuang mempertahankan hidup mereka,” ujar Nando lagi.

Untungnya jalan setapak berbatu itu tak lebih panjang lagi. Kami kemudian berbelok ke kiri, sampai pada halaman sebuah rumah semen bagus bercat oren. Di sebelahnya masih ada beberapa ammu ae nga ru koko (rumah adat asli Sabu Raijua). Di sebelah barat pekarangan itu, ternyata sebuah jurang yang di dalamnya tumbuh banyak pohon. Dari kejauhan, Samudera Indonesia terlihat membiru.

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook