PERJALANAN KE PULAU KARANG (8)

Perjuangan Dorkas Dira Tome untuk Pendidikan Anak-Anak Sabu

Feature | Selasa, 14 Januari 2020 - 16:09 WIB

Perjuangan Dorkas Dira Tome untuk Pendidikan Anak-Anak  Sabu
Dorkas Dira Tome, perempuan perkasa yang berjuang untuk pendidikan di Sabu Raijua. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Tahun 1993, segala jerih-payahnya dengan pulang-pergi naik sepeda ke Hawu Mehara, akhirnya berbuah manis. Di tahun itu, Dorkas berhasil menjadi CPNS dan pindah mengajar ke SMP N 1 Sabu Barat di Seba. Sang suami juga pindah ke sekolah tersebut. Setelah hampir 6 tahun menjadi guru mata pelajaran IPA, Dorkas akhirnya diangkat menjadi Kepala Sekolah SMP N 1 Sabu Barat hingga saat ini (2019). Sang suami, sebelum Dorkas menjadi kepala sekolah, memilih pindah mengabdi sebagai PNS umum di Dinas Pendidikan Sabu Raijua ketika sudah melepaskan diri dari Kabupaten Kupang dan berdiri sebagai kabupaten sendiri. Saat ini I Putu Sudiarta adalah Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Olahraga Sabu Raijua (2019).

Dorkas sangat ingin anak-anak Sabu mendapat pendidikan yang layak hingga minimal bisa lulus SMA. Atau bahkan malah bisa kuliah di perguruan tinggi. Di sekolahnya, ia berusaha agar siswa-siswi di sekolah yang ia pimpin banyak mendapatkan beasiswa. Ia yakin, anak-sanak Sabu pintar-pintar di berbagai bidang mata pelajaran. Hanya saja –terutama yang tinggal di kampung-kampung—banyak yang sudah kelelahan ketika sampai di sekolah. Mereka berjalan kaki berkilometer pergi-pulang ke sekolah tanpa nutrisi yang cukup. Tidak semua orangtua punya kendaraan untuk mengantarkan anaknya ke sekolah, atau anak-anak sekolah itu bawa kendaraan sendiri . Sementara transportasi umum tidak ada.


Akhirnya mereka harus berjalan kaki jauh di bawah teriknya matahari Pulau Sabu yang sangat panas. Bagi anak-anak yang orangtuanya mampu, mereka tak masalah dengan persoalan nutrisi dan gizi sehingga bisa belajar dengan tenang.

“Banyak anak-anak yang hanya makan sekali sehari ketika pulang sekolah. Pagi mereka tak sarapan. Apalagi saat musim kemarau tiba. Mereka yang rata-rata orangtuanya petani, jelas akan kekurangan bahan makanan dan uang untuk membeli,” kata Dorkas sedih.

Padahal, sebenarnya, bukannya orangtua mereka tidak punya uang untuk membeli makanan yang layak bagi anak-anaknya. Dorkas melihat, ada kebiasaan yang kurang baik dari banyak orang tua di Pulau Sabu dan Raijua, yakni kebiasaan adu taji (sabung ayam). Menurutnya, banyak orangtua yang mengutamakan uangnya untuk sabung ayam ketimbang untuk membantu pendidikan anak-anak mereka. Ini terbukti, anak-anaknya dibiarkan pergi sekolah tanpa nutrisi yang cukup, tapi saat sabung ayam, mereka bisa mengeluarkan uang dari kantongnya. Memang tidak semuanya, tapi menurut Dorkas, banyak kasus yang seperti itu.

Beberapa jenis beasiswa sebenarnya diberikan pemerintah. Salah satunya Beasiswa Indonesia Pintar (BIP). Dulu beasiswa ini diberikan langsung ke siswa.  Yang terjadi, uangnya bukan digunakan untuk membeli peralatan sekolah atau nutrisi, tetapi dibelikan handphone. Akhirnya Dorkas mengusulkan agar beasiswa tersebut masuk lewat sekolah dan dananya digunakan untuk membeli keperluan mereka, termasuk nutrisi yang diberikan langsung kepada para siswa-siswi. Dengan pola seperti itu, para siswa ternyata lebih baik dalam konsentrasi belajarnya.

Bukti bahwa anak-anak Sabu bisa bersaing bisa dilihat dari beberapa prestasi yang didapat. Dua siswa dari SMP 1 Sabu Barat pernah memenangkan Olimpiade Sain dan IPS tingkat NTT yang membuat mereka mewakili provinsi ini tingkat nasional. Tahun 2016, Gde Adyatmika mewakili NTT ke Olimpiade Sain di Palembang. Setahun kemudian, 2017, Sevanya Rohi juga menjadi yang terbaik di NTT bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan mewakili NTT ke lomba serupa tingkat nasional di Padang. (bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook