DORKAS Dira Tome masih keluarga bangsawan di Pulau Sabu. Ia masih keturunan salah satu pembesar kerajaan di masanya, yakni Mamanu Djami, dari pernikahan dengan istri keduanya Dima Riwu Doi. Hingga keturunan kesekian hingga sekarang, banyak yang berhasil menjadi orang sukses di berbagai bidang. Bupati Sabu Raijua pertama, Marthen Dira Tome atau nama sukunya Ju Hina, adalah kakak kandungnya.
Dorkas sendiri punya nama suku Edo Hina, dengan nama bangsawan Naraja Edo Huddi Piga Raja Manu. Sang ayah, Hira Dina (Nikolas Tome) adalah cucu dari Tome Kere yang membawa “dinasti” Tome, ayah dari Dira Tome (ayah Nikolas Tome) yang namanya dipakai untuk nama keluarga besar hingga sekarang (Dira Tome).
Dorkas lahir di Kupang, 30 Desember 1969. Ia menikah dengan lelaki dari luar Pulau Sabu yang sekaligus memutus nama keluarga (Dira Tome) dalam silsilah keluarga besarnya. Sang suami, I Putu Sudiarta, adalah lelaki kelahiran Badung (Bali), yang sejak tahun 1990-an mengabdi menjadi guru di Pulau Sabu Raijua. Mereka menikah tahun 1992. Dari pernikahan itu, lahirlah tiga anak, yakni Putu Eka Adiatmawaty (lahir di Kupang, 22 Mei 1999), Gde Adiyatmika (Kupang, 27 April 2003), dan Komang Adyatha (Kupang, 4 Juli 2004).
Meski lahir dari keluarga berada dan terpandang, tetapi perjuangan hidup Dorkas lumayan keras. Seperti halnya orang-orang lainnya yang hidup di Sabu, untuk mendapatkan sesuatu bukan hal yang gampang baginya. Ini tentu sesuai dengan kondisi hidup yang berat di Sabu Raijua. Ia menyelesaikan SD dan SMP di Seba, Sabu Barat, sebelum menyelesaikan SMA di SMA N 1 Sabu Barat tahun 1988. Ia lalu kuliah ke Kupang, di FKIP Jurusan Biologi Universitas Nusa Cendana (Udana) dan tamat tahun 1990. Sebelum wisuda, ia kembali ke Sabu.
Tahun 1990, setamat kuliah, ia harus memulai kehidupan sebagai seorang guru honor di SMP N 4 Sabu Barat (sekarang SMP 1 Hawu Mehara). Setiap hari, Dorkas harus naik sepeda sejauh 42 km. Berangkat 21 km, begitu juga saat pulang. Jalanan berbatu, berdebu, sudah menjadi makanannya sehari-hari. Dia juga harus melewati 4 sungai sepanjang jalan. Berarti jika pergi dan pulang, dia harus melewati 8 sungai. Sunga-sungai tersebut lebih sering tidak berair karena musim kemarau di Sabu lebih panjang dari musim hujan. Jika musim hujan, sering dia terlambat ke sekolah karena selain jalanan buruk dan licin, juga harus menyeberang sungai. Tak ada jembatan ketika itu. Kebetulan sungai-sungai di Sabu yang berair saat musim hujan, tak terlalu dalam, landai.
“Semua saya jalani dengan senang hati. Mengajar, menjadi guru adalah panggilan hati saya. Saya ingin mengabdikan hidup saya untuk mendidikan bagi anak-anak di Sabu. Makanya dari awal saya masuk ke FKIP, supaya jadi guru. Ketika itu, honor bulanan saya sebesar Rp35.000,” kata Dorkas saat ngobrol di sebuah sore yang berangin semilir di teras Penginapan Komang, 26 Mei 2019.
Panggilan hati memang suatu hal yang kuat dalam dirinya. Tetapi, kekuatan itu juga ditambah dengan kehadiran seorang guru muda dari Badung, Bali, di sana, ketika itu. I Putu Sudiarta. Mereka bertemu, berteman sebagai sesama guru, dan kemudian muncul benih-benih cinta. Meski beda suku dan keyakinan, tetapi cinta mereka akhirnya menyatu di pelaminan. I Putu Sudiarta akhirnya yang mengalah dan pindah keyakinan menjadi Protestan dari Hindu. Dorkas juga harus berkorban “kehilangan” nama keluarga dalam nama belakang anak-anaknya. Anak-anak Dorkas semuanya khas Bali.