PERJALANAN KE PULAU KARANG (8)

Perjuangan Dorkas Dira Tome untuk Pendidikan Anak-Anak Sabu

Feature | Selasa, 14 Januari 2020 - 16:09 WIB

Perjuangan Dorkas Dira Tome untuk Pendidikan Anak-Anak  Sabu
Dorkas Dira Tome, perempuan perkasa yang berjuang untuk pendidikan di Sabu Raijua. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Dorkas Dira Tome menjadi salah satu sosok yang cukup dipandang dalam dunia pendidikan di Sabu Raijua. Bukan karena sang suami menjabat Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sabu Raijua, tetapi dia memang berjuang keras membangun dunia pendidikan di Sabu sejak lama.

Oleh Hary B Koriuan


 

TARIAN keempat yang banyak melibatkan banyak penari adalah tari Padoa. Seperti diceritakan Dorkas Dira Tome, tarian ini awalnya diciptakan oleh seorang leluhur di Pulau Sabu, yakni Dida Miha. Tujuannya adalah mencari anaknya yang yang hilang. Anak tersebut bernama Wanyi Dari. Menurut cerita, anak ini disembunyikan oleh istri Dida Miha sendiri, yakni Dari Wanyi, di dalam laut. Lalu, untuk memancing penghuni laut datang ke darat, dibuatlah keramaian dengan tari-tarian formasi melingkar yang melibatkan banyak warga.

Dalam perkembangan selanjutnya, tarian ritual adat ini sering dilakukan di penghujung musim hujan dan setiap malam bulan purnama. Tarian biasanya dilakukan oleh hampir seluruh warga kampung, baik pria maupun wanita, tua maupun muda. Mereka berkumpul membentuk formasi lingkaran dan menari disertai nyanyian yang berisi doa-doa atau puji-pujian terhadap dewa/tuhan. Karena melibatkan orang sekampung, selain sebagai tari-tarian yang persifat spiritual, tarian ini juga menjadi ajang mencari jodoh.

 “Banyak anak-anak muda yang terlibat, lelaki dan perempuan, sehingga menjadi sarana untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya. Banyak yang berjodoh. Hingga kini tarian ini masih dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Sabu,” jelas Dorkas.

Banyak makna yang didapat dari tari Padoa ini. Tari ini menjadi ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada masyarakat Sabu, terutama atas limpahan air dari langit saat musim hujan. Maklumlah, Sabu dikenal panas dan lebih panjang musim kemaraunya dibanding musim hujan. Ucapan rasa syukur tersebut otomatis semakin mendekatkan masyarakat dengan Tuhan. Sebagai tarian yang melibatkan banyak orang, secara sosial, tari Padoa menjadi ajang  mempererat silaturahmi, persaudaraan, dan kebersamaan mereka sebagai sesama warga kampung. Formasi melingkar dan menari bersama-sama tanpa membedakan gender, usia, dan status sosial, adalah salah satu yang terlihat nyata dalam tarian ini.

Saat pertunjukan, tarian ini diawali dengan para penari berbaris dua barisan dan berjalan menuju arena dipimpin seorang yang membacakan syair. Saat menuju ke arena, para penari berjalan dengan gerakan tangan dan kaki yang menghentak-hentak, lalu kakinya deseret  agar menghasilkan suara. Setelah sampai di arena, mereka kemudian membentuk formasi melingkar.

Lalu tangan mereka saling berpegangan  di belakang badan penari lainnya, lalu menari dengan gerakan maju-mundur bersama-sama. Agar tetap terdengar wadah berbunyi, para penari menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Lalu pelan-pelan mereka memperbesar lingkaran dengan merenggangkan pegangan tangan. Sambil menghentakkan kaki, para penari juga  ikut menyanyikan syair yang dibawakan oleh pembaca syair. Saat keluar arena, gerakan para penari sama dengan saat masuk arena.

Hampir sama dengan tari-tarian yang lain, kostum tari Padoa  juga memakai kain khas Sabu. Pada penari pria memakai kain khas yang disebut higi huri, yang dikenakan untuk menutupi sebagian perut hingga lutut dan digunakan untuk selampang. Bagian kepala penari menggunakan dastar (willa hipora). Selain itu penari pria dilengkapi dengan ketupat (kudue’) di kakinya. Sementara pada penari wanita menggunakan kain khas Sabu, ei, yang lebih panjang  diikat di atas dada hingga menutupi kaki. Rambut dikonde khas suku Sabu dan dihiasi dengan labba. Juga dilengkali habas (kalung), ate-ate (anting), lele (gelang) dan pending (ikat pinggang).

Semua tari-tarian di atas, juga hampir seluruh tari-tarian tradisional Pulau Sabu dan Raijua, kini terus dilestarikan. Dalam acara-acara resmi pemerintah maupun adat, tari-tarian tersebut masih tetap dipertunjukkan. Sanggar Tari  SMP N 1 Sabu Barat, juga terus mengajarkan dan melatih siswa-siswinya agar mereka bisa menari warisan leluhur ini. Di sekolah ini, tari-tarian tersebut juga masuk dalam kurikulum muatan lokal.

“Kami berharap sekolah-sekolah lain di Sabu Raijua juga ikut  melakukan seperti apa yang kami lakukan ini,” ujar Dorkas.

Asyik menyaksikan siswa-siswi menari, tak terasa hari sudah sore dan waktu berbuka puasa sudah tiba. Setelah minum air putih dan makan kue yang disediakan, kami beranjak untuk kembali ke Menia. Di sini, waktu berbuka puasa sekitar pukul 16.45 Wita, tetapi kelihatan hari sudah sangat senja dan sebentar lagi malam akan tiba. Saya berada di belakang setir dan Ibu Dorkas berada di sebelah saya. Kami bercerita apa saja hingga sampai di Menia.

***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook