“Saya tak masalah. Kalau Mas kan tamu...” katanya lagi sambil tersenyum.
Dorkas yang ada di dekat saya hanya tersenyum dengan ulah Bang Brother itu. Ia yang tadi juga hanya memakai celana pendek selutut, kini sudah memakai kain tradisional dari atas pinggang hingga ke mata kaki. Lalu saya “menggunakan” dia sebagai penerjemah untuk bertanya hal-hal yang ingin saya ketahui selama prosesi ini.
Tak lama setelah itu, miniatur perahu yang dibuat dari kayu dadap dan bakau itu hampir selesai. Sebuah tikar daun lontar dijadikan lantai dengan sebuah kayu bakau lurus yang tinggi dijadikan tiang layarnya. Layarnya juga dibuat dari tika daun lontar yang diikat sedemikian rupa. Setelah itu, sebuah ketupat yang di dalamnya biji sorgum, jagung, dan kacang hijau diikatkan di tiang layar tersebut. Seekor anak ayam yang masih berbulu halus warna kuning, diikat kakinya dengan tali dan tali yang satunya diikatkan pada tiang bawah layar. Lalu para lelaki yang tadi ikut membantu membuat perahu ramai-ramai mengangkatnya menuju laut di Pantai Napae. Sesampai di dekat air, Deo Rai Habba merapalkan sesuatu. Setelah itu perahu dilepaskan ke air. Dua orang lelaki yang pandai berenang yang disediakan peralatan renang termasuk pipa untuk bernapas, membawa perahu tersebut agak ke tengah.
Setelah bertanya kepada Deo Rai dan para Mone Ama, Dorkas menjelaskan bahwa tujuan dari upacara ini adalah ucapan terima kasih kepada para penguasa alam, termasuk para penunggu laut, setelah masyarakat selesai memanen tanaman pertanian mereka. Upacara ini juga bisa disebut sebagai tolak bala, sebab para hantu yang diyakini masyarakat Sabu selama ini tinggal di laut, tidak naik ke daratan dan merusak tanaman selama mereka bercocok tanam sehingga hasil panennya berhasil. Mereka menyebutnya Warru Banga Liwu, yakni ucapan terima kasih karena panen mereka sesuai dengan hasil yang diinginkan.
Lalu bibit sorgum, kacang hijau, juga jagung itu sebagai simbol persembahan hasil panen kepada penguasa alam. Sedangkan anak ayam itu dijadikan sebagai simbol nahkoda yang menjalankan dan mengarahkan ke mana perahu itu hendak berlabuh. Miniatur perahu itu diarahkan ke wa mama lodo do ra janna, yakni Pulau Dana Wila Hole, sebuah pulau yang tak berpenghuni. Masyarakat yakin, di pulau itulah tempat tinggal para hantu laut yang baik yang tak mengganggu manusia saat bercocok tanam, sehingga mereka diberi persembahan berupa hasil pertanian tersebut.
“Intinya, ini adalah bentuk dari kearifan lokal masyarakat Sabu dalam menjaga segala kebaikan yang diberikan oleh alam. Mereka mengucapkan terima kasih kepada penguasa alam, siapa pun mereka, yang selama ini telah memberikan rezeki, kesehatan dan segala kebaikan. Ini salah satu yang diajarkan kepercayaan Jingitiu,” ujar Dorkas.
Setelah para perenang yang mengantarkan perahu ke lautan sudah kembali, para tetua adat, termasuk Deo Rai dan keluarganya, berjalan kembali ke darat dan pulang ke Namata. Masyarakat yang menyaksikan upacara tersebut juga membubarkan diri ke rumah masing-masing.
Cuaca memang sangat panas dan kering. Namun, angin laut yang berhembus sepoi-sepoi membuat semua yang panas itu menjadi dingin dan sejuk. Termasuk dalam hati...
***
NAMATA merupakan nama salah satu Kampung Adat dan di Wilayah Adat Habba atau tepatnya di Kecamatan Sabu Barat, Desa Raeloro. Selain sebagai nama kampung adat, Namata juga merupakan nama salah satu suku besar yang ada di Kabupaten Sabu Raijua, khususnya di Wilayah Adat Habba yang dalam wilayah administrasi masuk pada Kecamatan Sabu Barat.
Menurut Jefrison Hariyanto Fernando, atau yang biasa dipanggil Nando --seorang anak muda Sabu Raijua yang sangat tertarik dengan adat-istiadat Sabu Raijua—asal-usul Kampung Adat Namata (berdasarkan budaya tutur masyarakat Sabu) terbentuk dan didirikan oleh salah seorang tokoh terkenal Sabu Raijua pada zaman dahulu yang bernama Robo Aba. Dia memiliki 4 orang anak yang kemudian menjadi awal mula terbentuknya empat suku besar yang ada di Sabu Raijua khususnya di Kecamatan Sabu Barat. Anak pertamanya bernama Tunu Robo yang menurunkan Udu (suku) Namata; anak kedua bernama Pilih Robo yang menurunkan Udu Nahoro; anak ketiga bernama Hupu Robo yang menurunkan Udu Nahupo; dan anak keempat bernama Dami Robo yang menurunkan Udu Nataga.