PETUALANGAN KE PULAU KARANG (4)

Upacara Hole dan Kepercayaan kepada Leluhur di Sabu

Feature | Jumat, 10 Januari 2020 - 13:40 WIB

Upacara Hole dan Kepercayaan kepada Leluhur di Sabu
Proses pembuatan perahu dalam Upacara Hole sebelum kemudian dilarung ke laut di pantai Napae, Pulau Sabu, Nusat Tenggara Timur (NTT). (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

“Hampir semua turis yang datang dan menghubungi saya, saya ajak ke pantai ini. Mereka sangat suka. Kombinasi pemandangan laut, pantai, padang savana, batu-batu karang dengan kampung megalitik ini,” jelas Dorkas lagi.

Sebelum ini, saat baru tiba di Pulau Sabu pada 2 Mei, saya bersama dua peneliti dari Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan Dr Sastri Sunarti, Mbak Eko Marini, dan Salim dari Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur (NTT) mengunjungi Kompleks Megalitik dan Adat Namata, masih di Kelurahan Mebba. Namata adalah kompleks megalitik dan adat tertua di Pulau Sabu. Kami bertemu dengan salah seorang anggota keluarga di sana, yakni Elizabeth. Untuk sampai ke sana, harus melalui jalan bebatuan yang berliku dan menanjak. Untung Bang Brother sudah sering ke sana sehingga tahu selah mana jalan yang bisa dilalui.


Karena menjelang Upacara Hole dan Deo Rai Habba sedang bersemedi dan tak boleh diganggu, kami hanya berfoto-foto di lokasi itu, yang terletak di atas bukit. Yang menemani kami ngobrol, itu pun tidak banyak, hanya sang istri. Berkali-kali dia bilang bahwa saat itu sedang hari tenang, sang Deo Rai Habba sedang semedi dan puasa. Jadi tak boleh melakukan aktivitas di sekitar lokasi. Mama Elizabeth kemudian menjelaskan bahwa Upacara Hole akan dilakukan di Pantai Napae, hari Minggu, 5 Mei.

 Dari sini pemandangan laut terlihat dengan jelas. Pohon-pohon lontar terlihat tumbuh dengan rapi dan menghijau di antara padang savana yang terlihat dominan di Pulau Sabu. Dr Sulastri sempat memakai baju adat yang dipakaikan oleh Mama Elizabeth. Kemudian dia berfoto di atas dekat batu-batu megalitik di sana. Batu-batu di Namata besarnya hampir sama dengan yang di Rai Bodo. Tapi letaknya berdekatan. Di dekat batu-batu tersebut juga ada tiga buah benda seperti kukusan besar yang diletakkan berjejer. Benda-benda tersebut terawat dengan baik dan terlihat bersih.

Kini Upacara Hole itu sebentar lagi akan dimulai. Deo Rai Habba dan para Mone Ama (para tetua adat) sudah datang dengan membawa barang-barang dan benda-benda yang dipelukan untuk upacara. Deo Rai Habba terlihat kurus, ringkih, dengan rambut berwarna putih yang dibalut kain warna coklat khas Sabu. Ratusan orang mengiringi upacara, yang menurut Dorkas, sangat sederhana ini. Biasanya, kata Dorkas, Upacara Hole dilakukan dengan meriah dan besar-besaran.

Beberapa tetua adat terdengar terus bernyanyi puji-pujian untuk penguasa alam. Yang lainnya mengumpulkan kayu dadap  dan kayu bakau dengan ukuran cukup besar dan ranting-ranting, juga tali-tali pengingat dari pelepah pohon lontar. Lalu mereka merakit kayu-kayu dan ranting itu menjadi sebuah miniatur perahu. Sekitar setengah jam para lelaki sekitar 10 orang itu bergotong-royong membuat miniatu perahu itu diiringi nyanyian para tetua adat. Semua orang dewasa memakai kain tenun tradisional Sabu. Memang tidak semuanya lengkap dari atas hingga bawah. Ada yang hanya memakai kain besar atau selendang besar. Hanya para tetua adat yang memakai pakaian adat lengkap.

Saya pun dipinjami kain tradisional untuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Bang Brother yang memakaikannya. Dia sendiri kemudian sibuk mengambil video acara dengan smartphone-nya.

“Dipakai Mas, biar terlihat ganteng,” ujar Bang Brother bercanda.

“Abang tak memakai?” tanya saya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook