EKSPEDISI PWI RIAU KE TAMAN NASIONAL BUKIT TIGA PULUH

Kaya Keanekaragaman Hayati, Selalu Terancam Perambahan dan Perburuan

Feature | Kamis, 26 Agustus 2021 - 21:07 WIB

Kaya Keanekaragaman Hayati, Selalu Terancam Perambahan dan Perburuan
Para peserta Ekspedisi Taman Nasional PWI Riau 2021 saat berfoto di Bukit Lancang, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Sabtu (7/8/2021). (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Alhasil dia mendapat sindiran dari Alfis sambil bercanda, “Awak bawa peralatan nggak secukupnya saja. Ini bukan tahun 1995, ini 2021. Lagian tas peralatan yang awak bawa lebih besar dari tubuh awak.”

Semua yang mendengar itu tertawa. Namun terus memberi semangat kepada Jonathan dan Wiwik agar tetap kuat. Terlihat Wiwik selalu dikawal oleh Bambang Prayetno, Skretaris Umum PWI Dumai. Juga Dika Cahaya Putra, Ketua Siwo PWI Dumai.


Sedangkan Jonathan dijaga ramai-ramai. Selain Alfisnardo yang selalu ada di belakangnya, juga ada Deni Risman, Kunni Masrohanti, Nurmadi, Heny Elyati,  Nori (staf TNBT), Jinto Lumban Gaol, Fitriadi Syam, Syamsidir, Akhir Yani, Novrizon Burman, Muhammad Amin, dan yang lainnya. Mereka saling membantu dan tetap waspada agar Jonathan dan Wiwik bisa sampai puncak bersama yang lain.

Setelah berjalan hampir satu jam, Jalur Muntah berada di depan mata. Jalur ini adalah trek lurus dengan kemiringan sekitar 45 derajat, tanahnya agak lunak, banyak semak, dan memang perlu tenaga ekstra untuk melaluinya. Di trek ini –setelah melewati demplot bunga bangkai-- semua berjalan melambat dan saling menjaga. Sebab, bisa saja seseorang yang secara fisik kepayahan, akan drop di jalur ini. Untungnya, hingga melalui jalur ini, tidak ada yang drop atau muntah.

Hingga ke Jalur Muntak ini, formasi di belakang sebagai “tukang sapu” kini tinggal beberapa orang. Yakni saya, Dika, Bambang, Wiwik, Alfisnardo, Fonda Amelia, Mbak Kiss, dan Andi Munandar. Sekitar 10 menit sebelum puncak, saya memilih berlari untuk menghemat energi agar cepat sampai. Memang agak berat, tetapi cara ini sering saya pakai saat dulu masih sering mendaki gunung. Termasuk yang terakhir, saat naik di Gunung Manado Tua, di Kawasan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara (Sulut), pada akhir 2019.

Yang menarik dari perjalanan ini adalah pemandangan hutan hujan tropis yang vegetasinya sangat padat. Selain pohon-pohon kecil, di bawahnya juga semak-belukar yang padat, dan dalam beberapa kesempatan harus dibabat lebih dahulu oleh Andi Munandar dkk. Sesekali juga terdengar suara burung, bunga-bunga hutan, kayu pasak bumi, atau aliran sungai kecil dengan air jernih dan dingin di antara batu-batu granit yang masih tersisa di sana. Dari aliran sungai inilah nantinya yang menjadi air terjun di dekat Camp Granit.

“Sebagian jalan ini dibuat oleh perusahaan yang mengespolrasi granit. Tapi karena lama tidak diterabas, menjadi tertutup lagi oleh tumbuhan semak,” jelas Andi Munandar yang sepanjang perjalanan berada di posisi paling akhir.

Andi juga menjelaskan, jalur ini juga sering dilewati oleh satwa-satwa yang terekam kamera trapp, seperti dalam video yang diputar saat beramah-tamah dengan Kepala Balai TNBT dan staf di malam sebelumnya.

“Berarti juga dilalui oleh harimau sumatra?” tanya Dika.

Andi mengangguk. Wajah Dika kemudian berubah. Ekspresinya terlihat tegang. “Jadi…?”

Andi Munandar mengangguk dan tersenyum. Saya juga tersenyum melihat ekspresi Dika dan beberapa yang lain yang agak tegang. Namun setelah itu kami melanjutkan perjalanan sambil tertawa.

Tak terasa, meski perjalanan menjadi melambat karena Wiwik memang kesakitan dan tetap memaksakan diri hingga, sampai juga di puncak yang menjadi destinasi akhir: yakni tanah lapang tepat di bawah pohon marsawah raksasa yang diperkirakan berusia 200 tahun. Sambil istirahat, foto-foto, minum kopi yang dimasak oleh Kunni, beberapa orang mencoba “mengukur” garis lingkar bawah pohon tersebut. Ada 12 orang yang berdiri salin menautkan tangan melingkar ke pohon tersebut. Sebagian lain pergi ke Batu Lumba-Lumba (bentuknya mirip lumba-lumba, berwarna hijau karena ditumbuhi lumut).

“Meskipun capek, bisa sampai tujuan akhir sangat menyenangkan,” ujar Wiwik yang salah satu kakinya ternyata sempat keseleo dan dibantu “diperbaiki” oleh Alfisnardo.

Setelah foto bersama di bawah pohon, perjalanan pulang dengan rute menurun harus dilakukan lagi.

“Aduh, harus berjalan lagi sejauh yang tadi ya?” kata Jonathan.

Mendengar itu, yang lain hanya senyum-senyum…

Lebih pukul 11.00 WIB ketika kami akhirnya sampai ke kawasan pemandian di lokasi air terjun, tak jauh dari Camp Granit. Seharusnya semua anggota kelompok, baik 1 atau 2, bertemu di lokasi ini untuk beristirahat sambil berenang di kolam besar, atau menikmati air terjun di atasnya. Namun rombongan pertama ternyata sudah kembali ke Camp Granit lebih dulu.

Perjalanan yang melelahkan ke Bukit Lancang akhirnya terbayarkan dengan kesegaran air di kolam dari air terjun. Di sini, Kepala TNBT, Fifin Arfiana, dan para stafnya sudah menunggu. Ada yang berenang, ada yang sekadar duduk-duduk sambil menikmati teh hangat, ubi rambat, dan kacang rebus. Hingga menjelang Zuhur, semuanya kembali ke Camp Granit.

***

SETELAH makan siang, akhirnya eksplorasi di TNBT harus berakhir. Setelah acara seremoni perpisahan dengan Kepala TNBT dan staf, rombongan keluar dari Camp Granit menggunakan beberapa mobil dobel gardan. Saya, Zulmiron, dan Herlina tetap berada di formasi awal, naik di bak terbuka mobil yang dikendarai oleh Pemimpin Umum Mingguan Genta, Raja Isyam Azwar, itu. Bersama Raja Isyam di depan adalah Ketua Wanhat PWI Riau H Helmi Burman, Ketua PWI Riau Zulmansyah Sekedang, dan Ketua Pokja PWI Pekanbaru H Ian Tanjung.

Pelan tapi pasti, dengan tubuh tergoncang-goncang karena jalan tanah yang berlubang, gapura TNBT terlihat semakin menjauh, dan lama-lama hilang dari pandangan. Hutan alam yang sebelumnya terlihat juga pelan-pelan menghilang berganti dengan pemandangan pohon sawit di kanan-kiri.

Dalam perjalanan pulang di bawah terik matahari yang terasa di atas kepala itu, saya berdoa, semoga hutan tropis yang vegetasinya masih rapat, menghijau, dan menghasilkan udara segar untuk dunia ini tetap terawat, selamat dari ancaman para perambah dan pemilik modal yang akan membangun kebun. Juga, semoga kayu-kayu besar itu tertap hidup hingga puluhan, bahkan ratusan tahun nanti. Dan, semoga seluruh satwa yang ada di dalamnya juga selamat dari para pemburu yang terus mengejarnya dengan berbagai cara.

Setelah itu, ingatan saya pelan-pelan mulai memudar. Dan setelah kendaraan memasuki Jalan Lintas Timur Sumatra menuju Pematang Reba, ingatan saya benar-benar sudah  tak terkontrol lagi. Sebelum itu, saya masih bisa  melihat Zulmiron dan Herlina yang sudah tertidur, meski terik ini seperti hendak memecahkan kepala kami…***

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook