EKSPEDISI PWI RIAU KE TAMAN NASIONAL BUKIT TIGA PULUH

Kaya Keanekaragaman Hayati, Selalu Terancam Perambahan dan Perburuan

Feature | Kamis, 26 Agustus 2021 - 21:07 WIB

Kaya Keanekaragaman Hayati, Selalu Terancam Perambahan dan Perburuan
Para peserta Ekspedisi Taman Nasional PWI Riau 2021 saat berfoto di Bukit Lancang, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Sabtu (7/8/2021). (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Untuk Suku Anak Dalam, sulit menemui mereka karena kebiasaan hidupnya yang selalu berpindah tempat (nomaden) dan juga berpencar-pencar mengikuti kepala suku masing-masing.

Kehidupan dari kedua suku tersebut menjadi salah satu daya tarik wisata bagi pengunjung taman nasional. Apalagi kehidupan mereka yang sangat bergantung dengan hutan merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi pengunjung dapat mencoba untuk berbaur dengan kedua suku tersebut dan merasakan kebudayaannya secara langsung.


Salah satu lokasi bermukim Suku Talang Mamak adalah Dusun Datai yang mempunyai panorama alam indah. Suku yang menghuni dusun ini merupakan suku yang masih memegang teguh prinsip kebudayaa tradisional mereka. Jadi selain mengamati kehidupan penduduk, pengunjung juga dapat menikmati pesona alam di dusun Datai.

Tempat lain yang menjadi tempat tinggal Suku Talang Mamak adalah Dusun Lemang dan Siamang. Uniknya, di kedua dusun ini terdapat destinasi wisata seperti Sungai Gangsal dan air terjun. Kedua tempat tersebut memberikan keindahan tersendiri dan cocok dijadikan sebagai lokasi untuk rekreasi menikmati panorama alam.

“Suku Talang Mamak dan Suku Anak Dalam yang tinggal di kawasan sangat paham dengan alam sekitarnya. Mereka tidak akan merusak habitat yang juga menjadi tempat mereka mencari kebutuhan hidup. Mereka masih menggantungkan hidup dari hasil hutan non-kayu seperti buah kelukup, damar, rotan, dan yang lainnya. Yang susah adalah mereka yang datang dari luar kawasan yang tak memahami cara melestarikan alam,” ungkap Fifin lagi.

Salah satu cara agar masyarakat tetap menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan, Balai TNBT melakukan program pemberdayaan masyarakat, terutama bagi masyarakat di luar kawasan, atau yang tidak tinggal di zona inti. Pelatihan pertanian, pembudidayaan madu kelulut, budidaya rotan kelukup, penanaman pinang, pohon aren, dan sebagainya, dilakukan.

Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok tani, diberi penyuluhan, modal bibit, modal kerja,  dan lainnya. Mereka selalu didampingi dan perkebangannya selalu dipantau. Hasilnya, hingga saat ini mereka sudah mulai memanen hasil. Misalnya, budidaya madu kelulut yang di pasaran bebas nilai ekonominya sangat tinggi dibanding madu biasa, sudah menjadi salah satu komoditi yang menjadi nilai tambah masyarakat yang ikut membudidayakannya. Sekadar diketahui, harga madu kelulut di pasar bebas hingga mencapai Rp350 ribu per kilogramnya.

Alhamdulillah, dari hasil panen, mereka sudah menikmati nilai tambahnya,” ujar Fifin.

Fifin berharap, dengan cara pemberdayaan ini, selain pendapatan secara ekonomi bertambah, mereka juga tak masuk hutan untuk melakukan hal-hal ilegal seperti mencari kayu atau melakukan perburuan yang dulu sangat marak di kawasan ini.

***

7 AGUSTUS 2021. Suara penyiar RRI Pekanbaru, Amran Syarifuddin, yang mengumandangkan azan Subuh, terdengar sangat merdu. Beberapa lelaki, baik yang tidur di mess Camp Granit atau di tenda, terbangun. Mereka lalu antri di depan dua kamar mandi yang ada di salah satu gedung perkantoran Balai TNBT Camp Granit. Beberapa saat kemudian mereka salat Subuh bersama yang diimami H Muhammad Ikhwan, seorang wartawan yang juga dikenal sebagai ustaz. Dia alumni Universitas Al Azhar, Kairo (Mesir). Sebuah unversitas Islam modern yang menjadi salah satu tujuan para mahasiswa muslim Indonesia untuk berkuliah.

Tak lama setelah itu ada pengumuman bahwa kelompok yang akan melakukan trail ke Bukit Lancang, harus segera sarapan, senam pagi, dan kemudian berangkat. Karena perjalanan pergi-pulang sampai puncak memakan waktu lebih tiga jam, maka keberangkatan dipercepat dari kelompok kedua yang melakukan perjalanan di trek tak jauh, hanya sekitar Camp Granit hingga ke air terjun.

Pagi yang cerah. Angin terasa perlahan meniup. Tidak terlalu dingin memang. Suasana hijau hutan alam terlihat di segala penjuru mata angin yang membuat gairah dan memanjakan pandangan mata. Suasana yang tak mungkin lagi dapat dilihat di kota-kota besar yang sudah dipadati gedung-gedung beton. Di sebelah timur, terlihat warna kuning keemasan muncul. Matahari akan segera terbit. Arunika. Sunrise. Juga menjadi pemandangan indah.

Ini bukan perjalanan atau hiking biasa karena rute yang dilalui  naik-turun lembah dan perbukitan. Kami –rombongan yang terdiri dari 18 wartawan dan 6 pemandu dari TNBT—akhirnya memulai perjalanan. Setelah berdoa, perjalanan dimulai menuju sebuah hutan tipis yang disebaliknya adalah sebuah embung, atau telaga hutan alami. Telaga Teduh namanya. Setelah itu treknya menanjak.  

Di sini adenalin mulai berpacu. Sebab, setelah Telaga Teduh  itu tim harus mendaki 80 tangga yang sudah dibuat dari semen. Di jalur inilah Jonathan Surbakti, salah seorang fotografer yang ingin mengabadikan perjalanan hingga ke puncak Bukit Lancang, terlihat keletihan. Begitu juga dengan Wiwik Widaningsih, Ketua PWI Siak.

Beberapa menit setelah itu sampai di shelter, salah satu tempat istirahat, yang di sana ada bangunan untuk istirahat.

“Kita sudah sampai?” kata Jonathan.

“Ini baru awal,” jawab Andi Munandar, salah seorang pemandu dari TNBT, dengan penuh senyum.

“Baru awal?” terdengar suara Wwik, agak kaget.

Secara fisik, baik Jonathan maupun Wiwik sudah kelelahan.  Andi kemudian memberi alternatif. Jika ada yang merasa pesimis bisa sampai ke puncak dan turun lagi, tak apa kalau tak ikut dan memilih ikut rombongan kedua.

Namun Jonathan dan Wiwik tetap semangat. Terutama Jonathan --yang mengaku sudah mendaki beberapa gunung tinggi di Indonesia, salah satunya Gunung Semeru— yang tetap ngotot ingin naik sampai puncak bukit yang memiliki ketinggian sekitar 700 Mdpl itu.

Wiwik juga tak mau kalah. Katanya, “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa sampai ke puncak. Saya penasaran. Dan tanggung juga sudah sampai di sini…” ujar wartawan Riau Pos tersebut.

Perjalanan akhirnya dilanjutkan. Alfisnardo, Ketua PWI Siak yang juga wartawan Antara, membantu membawakan tripod milik Jonathan untuk mengurangi beban lelaki asal Rokan Hilir tersebut. Jonathan memang membawa semua peralatan “perangnya”, termasuk dua kamera digital besar, lensa panjang, dan yang lainnya.


 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook