PERJALANAN KE PULAU KARANG (17)

Masa Lalu Menyedihkan Membuat Yulius Berjuang untuk Masyarakat Raijua

Feature | Jumat, 24 Januari 2020 - 15:12 WIB

Masa Lalu Menyedihkan Membuat Yulius Berjuang untuk Masyarakat Raijua
Yulius Boni Geti (kiri) dan Jefrison Hariyanto Fernando, dua anak muda Kabupaten Sabu Raijua yang berjuang untuk pendidikan dan kemakmuran masyarakat kabupaten di dua pulau tersebut. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

“NANTI kalau sampai Pulau Sabu, kita bertemu ya, Bang...”

Komentara itu muncul di kolom komentar di dinding  laman Facebook ketika saya mengunggah surat pemberitahuan tentang terpilihnya delapan Sastrawan Berkarya di 3T. Saya kemudian bertanya, “Tinggal di Sabu Raijua?”


Dijawabnya, “Iya Bang. Senang bisa berhubungan dengan Abang. Semoga kita bisa benar-benar bisa betemu...”

Yulius Boni Geti. Itu yang tertulis sebagai nama akunnya. Sejak itu, di hampir setiap postingan saya di linimassa itu, dia menyukai atau ikut berkomentar. Hal yang sama juga saya lakukan di linimassa dia. Jadilah kami akrab, meskipun belum pernah bertemu muka.

Lalu, perjalanan benar-benar membawa saya ke Pulau Sabu. Hingga beberapa hari saya tinggal di pulau ini, kami hanya bisa berkomunikasi lewat percakapan di Whatsapp karena waktu bertemu memang sulit. Saya masih sibuk dengan berbagai kegiatan awal dan dia masih sibuk dengan liputan rekapitulasi perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabu Raijua dan liputan harian lainnya. Sebagai reporter Harian Victory News yang ditempatkan di kabupaten ini, dia memang harus membuat  minimal 3-4 berita sehari. Dan itu membuatnya harus ke sana-sini menemui narasumber.

Hingga kemudian, ketika saya bertemu dengan  Nando di salah satu dangau di pinggir Pantai Napae, 6 Mei 2019, Yulius datang dengan baju kotak-kotak warna hitam-putih dan jins birunya. Melihat wajahnya, saya seperti sudah kenal lama dengan dia, meski memang belum pernah bertemu sebelumnya. Saya sering melihat fotonya di dinding linimassa Facebook miliknya.

Jadilah di siang yang terik dengan angin sepoi-sepoi itu kami ngobrol bertiga. Kebetulan saya sudah selesai ngobrol “serius” dengan Nando. Dan, ini yang seperti sebuah kebetulan, kedua anak muda ini ternyata punya irisan-irisan dalam perjalanan hidupnya. Mereka ternyata pernah berjuang bersama-sama saat perjuangan pembatalan tambang mangaan di Liae. Yulius hampir setiap hari membuat berita tentang itu.

Lalu, mereka juga bersama-sama –dengan lokasi dan kegiatan yang berbeda— membangun taman bacaan untuk anak-anak  di Pulau Raijua. Nando di GPS, Yulius di Tabah Turangga. Nando di Ledeke, Yulius di Bolua.

Hingga kemudian, perjalanan  selama dua hari, 20-21 Mei, ke Raiujua semakin mendekatkan saya dengan keduanya. Mungkin tidak keseluruhan, tetapi lumayan detil. Tapi pada intinya, keduanya sama-sama punya pemikiran yang mungkin tak pernah dipikirkan orang lain: anak-anak Raijua, juga Sabu, tak boleh bodoh. Bahkan belakangan di linimassa Facebook miliknya, Nando sedang mencanangkan sebuah tanda pagar (tagar) #1Desa1TamanBacaRaijua. Jika program ini tercapai di suatu hari nanti, alangkah senangnya masyarakat Raijua memiliki anak-anak muda seperti ini.

Pertemanan Yulius dan Nando yang sudah lama ini membuat keduanya memang sering menginisiasi kegiatan-kegiatan bersama-sama. Meski beda usia mereka cukup jauh, sekitar 7 tahun, tetapi itu tak menghalangi  mereka dalam bersama-sama ingin ikut membangun Sabu Raijua dengan cara mereka, di luar cara pemerintah. Keduanya terus bersinergi dalam berbagai hal.

“Dia senior saya. Dia yang sering mengingatkan kalau saya kebablasan atau terlalu vokal. Kami banyak melakukan hal bersama,” ujar Nando.

Yulius lahir di Desa Ballu, Kecamatan Raijua, di Pulau Raijua, 6 Juli 1982 di saat musim kemarau seperti membakar pulau itu. Sang ayah, Benjamin Boni Geti, meskipun salah satu tokoh yang dihormati di desanya, yang juga menjabat sebagai Kaur Umum Desa Ballu,  namun pekerjaan sehari-hari hanya seorang petani biasa. Begitu juga dengan sang ibu, almarhum Analisa Kore  (meninggal di usia 63 tahun pada 21 November 2017), harus ikut bekerja keras membantu perekonomian keluarga dengan kerja apa saja.

Bahkan, pada suatu waktu, Yulius masih ingat bagaimana sang ibu haru bekerja upah memikul beras jatah PNS dari kapal di pelabuhan Raijua ke darat. Lalu sang ibu mendapat upah berupa beras atau jagung, dan itulah yang digunakan untuk makan sehari-hari. Itu pernah terjadi saat musim kemarau berada di puncaknya. Meskipun sang ibu juga bisa bekerja upah sebagai penenun ikat, tapi hasilnya tak seberapa.

“Saya tak pernah lupa apa yang dilakukan oleh ibu saya untuk berjuang membesarkan anak-anaknya,” ujar Yulius saat kami ngobrol santai di Penginapan Komang, Rabu, 22 Mei 2019, sehari setelah kami pulang dari Pulau Raijua.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook