Kehidupan tradisional masyarakat Sabu Raijua memang penuh dengan upacara-upacara. Begitulah cara mereka mengucapkan terima kasih kepada penguasa alam yang memberi kehidupan dan segala kebaikan.
Oleh Hary B Koriun
SIANG yang sangat terik. Matahari seperti berada di atas ubun-ubun. Di langit Sabu, tak terlihat ada awan berarak. Yang ada warna biru. Biru seluas cakrawala. Padahal jam tangan masih menunjukkan pukul 10.35 WIB di hari Minggu, 5 Mei 2019, hari itu. Tetapi Ibu Dorkas Dira Tome terlihat sudah tak sabar. Dia kelihatan gelisah dalam duduknya. Katanya, sepulang dari ibadah di gereja, dia langsung menelpon Abang Martinus Brother agar cepat datang. Takut Upacara Hole keburu selesai.
Padahal, kata dia, justru Bang Brother yang mengabari ke dia kemarin, jika upacara itu diadakan hari ini, di Pantai Napae.
“Entah dapat kabar dari siapa si Bang Brother itu,” kata Dorkas. Wajahnya masih kelihatan gelisah.
Namun tak berapa lama setelah itu, yang ditunggu datang dengan motornya. Juga dengan senyum khasnya. Abang Brother memang murah senyum. Dia akan tersenyum setiap ketemu orang. Dan satu lagi, gampang akrab dengan orang baru.
“Mohon maaf, Mama... Pendetanya lama tadi berkutbah,” katanya kepada Ibu Dorkas, dengan senyum khasnya.
Kami kemudian berangkat, menuju Pantai Napae. Di sana akan diadakan Upacara Hole Adat Namata. Upacara persembahan kepada penjaga alam, sebagai ucapan terima kasih setelah memberikan rezeki yang baik selama setahun ini.
“Dari mana tahu hari ini Upacara Hole Namata?” tanya Dorkas kepada Abang Brother.
Abang Broter kemudian menjelaskan bahwa pada siang saat baru sampai ke Pulau Sabu pada Kamis, 2 Mei, kami –dia, saya, Dr Sastri Sunarti, Mbak Eko Marini, dan Salimulloh Tegar Sanubarianto-- sudah pergi ke Namata setelah makan siang di Seba. Di sana, Mama Elizabeth mengatakan kalau Upacara Hole akan diadakan hari Minggu. Hari ini.
Kami kemudian berangkat ke Seba, menuju Pantai Napae. Tetapi sampai di sana tak terlihat ada aktivitas apa pun. Dorkas kemudian mengontak Drs Livingstone Hulu, Kabag Kebudayaan Dinas Pendidikan, Pemuda, Kebudayaan dan Olahraga (PPKO) Kabupaten Sabu Raijua. Saat ditanya lewat telepon, Livingstone menjawab tidaka tahu karena mereka tidak ada melapor ke Dinas PPKO soal itu. Biasanya, katanya, jika akan mengadakan upacara, pimpinan adatnya melaporkan kegiatan itu kepadanya, atau kepada stafnya. Bisa lisan maupun tulisan.
Dorkas kemudian membawa kami ke Kompleks Megalitik dan Rumah Adat Dara Rai Bodo, di Kelurahan Mebba. Masih di Kecamatan Sabu Barat. Mobil bisa dibawa masuk hingga di depan sebuah gereja lewat jalan kecil berbatu karang. Setelah itu kami berjalan kaki lumayan jauh melewati padang savana yang berbatu karang. Terlihat tersebar di banyak tempat dan menonjol, meskipun juga terlihat ada di beberapa bagian bekas tanaman sorgum dan jagung. Ada pepohonan yang terlihat rindang, pohon dadap dan kedondong hutan, namun jumlahnya tidak banyak. Lalu kami mampir ke sebuah rumah adat tradisional. Saya masuk dan melihat beberapa benda, terutama alat-alat musik tradisional yang digantung di atas. Terlihat ada gendang dengan beberapa ukuran.
“Ini yang nanti diambil untuk digunakan sebagai pengiring saat upacara,” ujar Dorkas.
Setelah itu kami berjalan menuju pantai. Di sanalah Kompleks Megalitik Rai Bodo. Ada terlihat batu-batu megalitik berbentuk bulat sebesar kerbau. Jika boleh, kita bisa duduk bersila di atas batu tersebut. Tetapi karena dianggap keramat, tidak semua orang boleh duduk di atas batu tersebut. Batu-batu serupa menyebar di beberapa tempat. Ada sekitar 6 batu yang mirip. Batu-batu ini, kata Dorkas, menyimpan roh-roh leluhur, dan harus dihormati oleh mereka. Persis di bibir jurang yang di bawahnya adalah Pantai Napae, ditumpuk batu-batu kecil hingga setinggi hampir satu meter. Dibuat keliling menjadi pagar yang membatasi lokasi tersebut dengan bibir jurang. Di sekeliling tempat itu terlihat lautan yang membiru di tengah panas terik yang memanggang tersebut. Pemandangan yang indah.