Yang Bermula dari Adab

Seni Budaya | Minggu, 14 November 2021 - 09:31 WIB

Yang Bermula dari Adab
Menjalin jala sudah menjadi kerajinan dan keperluan sehari-hari bagi masyarakat Cipang Kiri Hilir. (ISTIMEWA)

Dalam kehidupan masyarakat adat kawasan Cipang Rayapada  umumnya, ada berbagai jenis sanksi yang diberikan. Inilah yang disebut dengan sanksi adat. Sanksi adat tidak pernah tertulis, tapi diketahui seluruh masyarakat. Sehingga jika ada masyarakat yang melakukan kesalahan, pelaku maupun masyarakat lain sudah tahu sanksi apa yang akan diberikan kepadanya. Besarnya sanksi tergantung besarnya kesalahan. Sanksi ini juga disebut dengan hutang. Sedangkan hutang hukumnya wajib dibayar. Jika tidak dibayar, yang bersangkutan menerima sanksi, mulai dan diacuhkan atau tidak dilibatkan dalam berbagai urusan kampung, hingga diusir dari kampung tersebut.

Contoh kesalahan yang akan diberikan sanksi adat kepada masyarakat atau pelaku kesalaan antara lain, hamil di luar nikah. Dalam kasus ini, Mamak kedua belah pihak (lelaki dan perempuan) bersepakat menyampaikan kepada imam masjid agar keduanya segera dinikahkan. Sesudah nikah keduanya dibawa ke masjid untuk ditobatkan dan dicambuk tujuh kali dengan sepuluh lidi.  Malam harinya, ninik mamak, cerdik pandai dan lan-lain, dijemput ke rumah perempuan. Di sinilah persoalan hutang adat harus dibayar.


Untuk sikap melanggar adat ini dikenakan hutang satu ekor kambing dan nasi gulai. Artinya, seekor kambing disembelih lengkap dengan nasi dan gulai. Lalu diundang tokoh adat dan pemuka masyarakat untuk makan bersama-sama. Pada saat ini, mamak adat menating (memberikan) sirih kepada salah satu ninik mamak bahwa hutang adat sudah dibayar dengan kata-kata: rupo dapek diliek, putiah kapeh dapek diliek, putiah hati berkeadaan (rupa dapat dilihat, putih kapas dapat dilihat, putih hati berkeadaan).

Kepala kambing yang disembelih itu dibagi dua dan diletakkan ke dalam piring. Sebelah untuk Datuk Menaro Sati, sebelah lagi untuk imam. Kemudian, datuk dan imam membagikan atau memutar kepala kambing sehingga semua yang datang dapat mengenyam (mencicipi) kepala tersebut.

Kemudian salah satu ninik mamak menating sirih kepada Datuk Menaro Sati dengan isi kata yang disampaikan antara lain memiliki arti: salah kepada manusia minta maaf, salah kepada Allah minta ampun. Lelaki dan perempuan dalam perkara ini juga disuruh  membersihkan pekarangan masjid.

"Kalau 50 tahun lalu, pasangan lelaki dan perempuan yang hamil di luar nikah tidak hanya dihutangkan satu ekor kambing dan membersihkan pekarangan masjid, tapi juga diarak keliling kampung. Ada adat yang memang asli adat, harus dijalankan. Tapi ada adat yang diistiadatkan. Niat tahunan, rantau larangan, itu adat yang diistiadatkan. Artinya, kalau tidak dilaksanakan tidak apa-apa. Tidak ada sanksinya," jelas Datuk Sa’danur, tokoh adat Cipang Kanan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook