CERPEN RELLY A VINATA

Zaman Para Pencela

Seni Budaya | Minggu, 24 Januari 2016 - 09:10 WIB

Zaman Para Pencela
Ilustrasi - Dantje S Moeis

Angsa-angsa hitam berseliweran di pelataran rumah. Belasan jumlahnya. Mudasir melihat seorang lelaki duduk di bangku rotan teras rumahnya. Lelaki itu tampak sedang melempari bulir-bulir dedak pada kerumunan angsa. Setelah diperhatikan dengan saksama, Mudasir cukup yakin lelaki yang duduk di teras depan rumah itu tak lain adalah dirinya sendiri. Mudasir tak habis pikir melihat dirinya yang selayaknya menikmati suasana itu. Seperti tak acuh bagaimana sekawanan angsa hitam itu ada di sana dan dari mana pula asalnya.

Seakan disisir, kerumunan angsa-angsa hitam tersibak membelah dua. Tiga orang bertuksedo memarkir mobil di pekarangan dan gemeletuk kaki mereka melewati belahan itu. Lelaki di teras menyambut dan menyalami satu-persatu. Ronanya semringah. Berbasa-basi sejenak lalu mempersilakan masuk. Tanpa ba-bi-bu satu orang menyodorkan berlembar kertas yang harus ditandatangani. Dua orang lain masing-masing meletakkan koper besar. Bukan satu atau dua, melainkan empat koper. Bukan main!

Baca Juga :Sastrawan dan Gambaran Kualitas Karya

Mudasir melihat dirinya mengguratkan pena pada kertas-kertas. Sekali lagi bersalaman. Mengucap selamat bagi satu sama lain. Sepakat!

Bagai tersaput bandul waktu, Mudasir menyaksikan fragmen demi fragmen berjalan begitu cepat. Sebuah proyek hotel bintang lima mulai dirancang pada sehektare lahan samping rumah. Pengerjaan tanpa henti siang-malam. Mudasir melihat dirinya dan keluarganya mulai rajin membeli koyo dan obat tidur karena setiap waktu adalah kebisingan. Di depan rumah, angsa-angsa hitam beranak-pinak menjadi puluhan.

Seumur hidup, sumurnya tak pernah kandas. Tapi kali itu ia menyaksikan semua orang berbicara tentang kekeringan. Warga mengeluh bangunan-bangunan bertingkat itu menyedot habis sumber air di rumah mereka. Kemarau berkepanjangan menambah daftar petaka. Mudasir melihat dirinya mulai sering merenung. Ia tampak kusut dan jarang mandi. Semakin banyak orang melintas di depan rumahnya. Dari yang membawa gerobak, sampai mobil box. Menjajakan air bersih.

Orang-orang menjadi lebih rajin berjamaah melakukan doa turun hujan. Ketika doa terkabul, awan menggumpal-gumpal pertanda turunnya hujan deras, semua orang tampak bersukacita. Tanpa menyadari bahwa hujan kali itu menguapkan petrichor racun dan tempias-tempias cela. Air yang ditumpahkan langit itu tak temukan celah meresap. Mereka seperti kesasar dan tersesat. Hanya menggenang dan terus menggenang. Semata kaki, sepinggang dan terus meradang.

Penduduk kota yang semula bersukacita, mengira dibasuh hilang kerontang, beralih menjadi wajah-wajah putus asa diliputi cemas. Menonton barang perabotan hanyut terbawa air. Orang-orang mulai sadar tak ada lagi musim yang berkenan bersahabat dengan kota ini.

Semua orang lupa dengan dirinya sendiri dan memilih saling tuding. Mahasiswa-mahasiswi dengan pelbagai almamater melakukan demonstrasi dan menyebar pamflet. Menuntut pemerintah yang tidak becus menangani bencana yang terjadi. Pemerintah menyalahkan masyarakat yang bebal membuang sampah sembarangan dan mengabaikan anjuran menanam pohon. Masyarakat menyalahkan perusahaan-perusahaan swasta yang mencaplok lahan ulayat mereka. Perusahaan tak sudi disalahkan karena mengantongi izin membangun dan turut mengentas kemelaratan dengan menyediakan lapangan kerja.

Mudasir melihat penduduk kota ini jadi lebih sibuk mencela. Mengutuki setiap musim. Menyesali segenap akibat, alih-alih menanggulangi sebab. Dan semua orang menjadi lebih mudah menemukan alasan untuk tidak bersyukur.

Angsa-angsa hitam kini jumlahnya sudah ratusan atau mungkin ribuan. Berenang di antara rumah Mudasir yang setengah tenggelam. Menyelam, menyembul, mengepak dan bersahutan melengkingkan suara bak sedang menyanyikan dendang. Menyampaikan kabar bahagia. Angsa-angsa itu berputar gasing mengelilingi rumah Mudasir. Terus-menerus dayungan kaki para angsa semakin cepat menggerakan air hingga membentuk lubang pusaran gelap di tengahnya. Mudasir menyaksikan raksasa pusaran air itu trengginas menyedot seisi rumah, dirinya beserta istri dan juga omak yang melolong terjerumus ke dalamnya.

Suara melengking terus bersahutan, menyentak, tindih-menindih dan saat itu juga membangunkannya.

***

Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Berpaling ke samping. Dipandangi istrinya yang terlelap pulas. Detik pada jam dinding yang menunjukkan jam duabelas kurang seperempat dilumat oleh suara gerimis di luar sana. Mudasir bergegas turun dari ranjangnya. Bergerak menyibak tirai jendela. Dari sana ia dapat melihat rumput basah pada hamparan lahannya. Sejenak tercenung memandang parit yang masih sedia kala. Mendadak ia tak sabar menunggu datangnya pagi. Ingin segera mencabut patok yang ia tancapkan siang tadi.***

Kuantan Singingi, Januari 2016

Catatan:

Ociak = Bibi

Jawi = Sapi

Aba = Ayah

Tarompa = Sendal/alas kaki

Moncik = Tikus

Manso = Babi

Onga = Abang

Omak = Ibu

Cinaku = Harimau jadi-jadian

Kodai = Warung

Relly A Vinata, Lulusan Universitas Muhammadiyah Riau Fakultas Ilmu Komunikasi. Cerpennya yang tergabung dalam antologi diantaranya, Senja Bersama Siti Nurbaya (Negeri Asap, 2014), Rahim Bumi (Hikayat Bunian, 2015).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook