Karya beliau yang sangat fenomenal adalah Tafsir Al-Azhar, sebuah tafsir Alquran 30 juz, yang beliau tulis pada 1964 saat mendekam dalam penjara di masa pemerintahan Orde Lama. Seperti diungkapkan Irfan dalam buku biografi Buya HAMKA yang berjudul Ayah, HAMKA justru bersyukur karena dipenjara.
"Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Alquran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”
HAMKA memahami betul, usia manusia sangat terbatas. Akan tetapi, cita-cita dan harapannya yang tidak “bertepi” membuatnya harus menyambungnya melalui tulisan dan karya yang masa bertahannya lebih panjang dari gedung-gedung dan monumen.
Banyak ulama Islam yang merasa pentingnya menulis. Selama empat puluh tahun, Muhammad bin Jarir ath-Thabari selalu menulis sebanyak empat puluh lembar setiap harinya. Setelah empat puluh tahun, dia telah menulis hampir lima ratus delapan puluh empat ribu lembar. Lihat pula Imam al-Baihaqi yang telah menulis seribu juz dengan mengandalkan tangan semata: menyusun huruf demi huruf. Dia harus berpuasa 30 tahun untuk menyelesaikannya.
Ibnu Aqil yang hidup di abad ke-6 Hijriyah menulis dua ribu jilid kitab dengan tangannya sendiri, sedangkan Al-Hafidz Ibnu Asakir menulis kitab Tarikh Damsyiq sebanyak delapan puluh jilid. Lebih dari empat ratus karangan dalam berbagai disiplin ilmu telah ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Adapun gelar Imam As-Suyuthi adalah “Anak Kitab” karena ibunya melahirkannya di perpustakaan. Setelah besar ia dijuluki “Bapak Kitab” karena memang lebih kurang enam ratus karya yang dihasilkannya.