KOLOM ALINEA

Kabut Asap dan Kreativitas Sastra

Seni Budaya | Minggu, 08 November 2015 - 02:34 WIB

Jangan sampai kebakaran lahan/hutan mengakibatkan kemiskinan terhadap masyarakat, seperti dalam pepatah tungku tak berasap yang ‘menggambarkan orang yang sangat miskin sehingga tidak bisa makan/tidak ada yang akan dimasak’ terjadi.

Bencana kabut asap ini juga diabadikan dalam karya sastra bergenre puisi dan cerpen. Pada 2014 sebuah cerpen  “Keluh Kesah” karya Novri Kumbara, dalam Negeri Asap: Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014. Tercatat juga beberapa cerpen lainnya yang juga berkenaan dengan asap, yaitu “Asap Pak Tua” (Melda Savitri), “Kabut Asap” (Syahda Sylvanto), dan “Kabut Asap” (Abdul Hamid).

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Puisi juga menjadi media untuk menyampaikan resah dan juga protes akan kabut asap yang kerap melanda Indonesia. Di dalam blognya, Rakib Jamari menulis sembilan puisi mengenai asap. Entah berapa orang pula yang menjadi penyair dadakan karena menulis puisi asap di media sosial yang mereka punya.

Pada Pekan Sastra Se-Sesumatera yang diselenggarakan Kantor Bahasa Jambi di Jambi, 28 September sampai dengan 3 Oktober 2015, Fakhrunnas MA Jabbar, Aries Abeba, dan Dheni Kurnia membacakan puisi-puisi “asap” mereka di hadapan peserta Pekan Sastra yang diikuti utusan Balai dan Kantor Bahasa se-Sumatera. Pada Sabtu, 3 Oktober 2015 dalam acara pembacaan puisi “Asap dan Azab”,  tiga penyair Riau tersebut kembali mementaskan puisi-puisi karya mereka mengenai asap.

Perhatikan penggalan puisi berjudul ‘’Perjalanan Jerebu’’ yang dibacakan penyair Fakhrunnas MA Jabbar ini. Jerebu menusuk kalbu/meresahkan jiwa/jerebu menyeruduk paru/menyesak dada/Jerebu bertamu di pintu/menumpuk di ruang rumah/Jerebu masuk sekolah/mengamuk pada guru/dan sekolah pun diliburkan suka-suka/. Puisi ini menyampaikan kerisauan Fakhrunnas  akibat kabut asap.

Tidak hanya ketiga penyair tersebut, seniman Suharyoto Suwigno membacakan puisi asapnya dalam aksi demonstrasi yang digelar di gerbang Kantor Gubernur Riau. “Saya sudah tidak bisa membedakan mana kantor Gubernur dan mana kantor Polda/ itu semua karena banyaknya asap yang masuk ke otakku,” kata Aryo, panggilan akrab penyair itu dalam puisinya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook