KOLOM ALINEA

Kabut Asap dan Kreativitas Sastra

Seni Budaya | Minggu, 08 November 2015 - 02:34 WIB

Beberapa waktu yang lalu, Provinsi Riau dilanda kabut asap. Papan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang tegak kokoh di beberapa wilayah di Pekanbaru, tidak beranjak dari level “sangat tidak sehat” dan “berbahaya”. Hal ini berarti tingkat kualitas udara dapat merugikan kesehatan (level sangat tidak sehat) dan sangat merugikan kesehatan (level berbahaya) pada populasi. ISPU ini ditetapkan berdasarkan lima pencemar udara, yaitu CO, SO2, NO2, dan Ozon permukaan (03), dan partikel debu (PM10).  

Peristiswa ini bukan untuk yang pertama kalinya terjadi. Ditengarai sudah tujuh belas atau delapan belas tahun kabut asap “rajin” mengunjungi provinsi ini. Tidak hanya Riau, beberapa provinsi lainnya, seperti Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah juga terdampak kabut asap. Bahkan, asap ini telah pula “mengunjungi” negera tetangga, Singapura dan Malaysia, yang mengakibatkan protes masyarakatnya terhadap Indonesia.

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Bencana kabut asap ini merupakan imbas kebakaran (pembakaran?) lahan atau hutan. Akibat yang ditimbulkannya tidak main-main. Ribuan lahan/hutan musnah dan tentu saja beserta habitat tumbuhan dan binatang di dalamnya. Tidak itu saja, kabut asap (yang dikenal oleh orang Melayu dengan istilah jerebu) telah mengakibatkan ribuan orang terkena penyakit, mulai dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), penyakit mata, sampai penyakit kulit. Dikhawatirkan pula, dampak jangka panjang dari kabut asap ini bagi kesehatan adalah kanker paru-paru. Dampak lainnya, penerbangan ke dan dari Pekanbaru lumpuh. Bisnis kacau. Anak-anak sekolah diliburkan tanpa tahu kapan dapat kembali ke sekolah secara normal.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kabut bermakna ‘kelam; suram; tidak nyata;  awan lembap yang melayang di dekat permukaan tanah; dan uap air sebagai hasil kondensasi yang masih dekat dengan tanah yang terjadi karena peristiwa pemanasan atau pendinginan udara, biasanya menyebabkan jarak pandang di permukaan bumi berkurang.’ Kata asap  didefinisikan sebagai ‘uap yang dapat dilihat sebagai hasil pembakaran’. Adapun kabut asap dijelaskan sebagai ‘campuran antara kabut dan asap.’

Dibandingkan kabut, asap lebih akrab dalam kehidupan masyarakat Riau. Dahulu, untuk mengawetkan ikan, salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan mengasapinya. Masyarakat Riau mengenalnya dengan ikan salai (ada juga yang mengenalnya dengan karasak), yang tugunya diabadikan di depan kantor Walikota Pekanbaru.

Ketidakasingan masyarakat terhadap asap, diabadikan pula dalam peribahasa. Untuk orang yang belum menikah, ada peribahasa belum dipanjat asap kemenyan. Orang yang melakukan perbuatan sia-sia atau berangan-angan hampa belaka, digambarkan dengan peribahasa menggantang asap, mengukir langit. Ada pula pepatah masuk asap keluar angin yang berarti ‘sesuatu yang dikerjakan belum mendapat apa-apa.’

Tidak hanya peribahasa yang memiliki makna negatif seperti yang disebutkan sebelumnya, peribahasa dengan menggunakan kata asap juga memiliki makna yang positif, seperti bagai api dengan asap. Peribahasa ini menggambarkan sebuah persahabatan yang sangat erat. Pepatah telah berasap hidungnya digunakan untuk menggambarkan situasi ‘mendapatkan keuntungan setelah menderita dalam waktu yang cukup lama.’









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook