KOLOM YUSMAR YUSUF

NIR-PLASTIK

Seni Budaya | Minggu, 28 Februari 2016 - 10:05 WIB

NIR-PLASTIK

Hidup tanpa plastik. Mungkinkah? Kita menggaulinya sejak pagi hingga malam. Dia menjadi teman hidup sejak kanak-kanak hingga orang tua renta. Dia mewadahi air mineral dalam kemasan, menjadi media bagi minuman jus instan, jadi pembungkus obat-obatan. Dia juga memanjakan ibu-ibu ke pasar, karena tak perlu susah payah menyimpan dan membawa tas khusus. Plastik  juga jadi media para peritel kecil hingga pemilik waralaba untuk promosi dan identitas produk. Dia dijadikan kemasan pembungkus makanan jajan yang dijual di sekolah-sekolah hingga ke supermarket. Namun, anehnya pikiran manusia hari ini hanya memaknai plastik sebagai sampah (waste), yang hanya tertumpu pada tas atau kantong keresek yang terbuat dari plastik.  Dari sini kisah tentang kehadiran plastik sebagai pembantu kehidupan hingga menjadi sampah kehidupan dimulai.

Ikhtiar mengurangi atau malah mereduksi efek plastik dalam kehidupan manusia, tentulah diperlukan. Karena timbunan plastik hari ini telah menjadi ancaman bagi keberlangsungan peradaban manusia. Sumber kehidupan manusia dan segala makhluk tentulah air. Kini badan-badan air telah penuh sesak ditimbun oleh gerombolan plastik yang seakan bisa membentuk koloni daratan baru, bahkan benua plastik. Segala hidupan atau biota air terancam punah. Sementara biota itu sendiri menjadi sumber gizi dan gantungan hidup bagi keperluan tubuh jasadi bagi kita. Kepunahan beberapa jenis biota yang disebabkan oleh plastik, sekaligus menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, apatah lagi keberlangsungan peradaban. Dari ihwal inilah komunikas peduli lingkungan menghentak kesadaran kita mengenai bahayanya plastik di tengah kehidupan bumi. Kini sampah plastik sudah menjadi “terror” baru.

Baca Juga :Tumbuh Positif, Tarik Perhatian Investor

Semula dia bukanlah sampah. Dia dihajatkan untuk memudahkan manusia dalam segala hal. Termasuk dalam urusan kesehatan (misalnya untuk pembungus obat dan operasi). Namun, ketika dia menumpuk dan memerlukan waktu hingga lebih dari 100 tahun untuk terurai, dia menjadi masalah bagi manusia. Dia tak sekedar sampah, namun adalah ancaman dan petaka peradaban. Itulah plastik. Awalnya hanya sekedar keresek yang dibawa ibu-ibu sepulang belanja di pasar. Namun, lama kelamaan menumpuk dan menggunung. Ada yang sengaja dibuang di batang air, badan air dan lautan. Sampah plastik menggantung di tebing-tebing sungai, pantai, laut bahkan samudera. Dia tersangkut di akar kayu sepanjang tebing dan bahkan hinggap di pepucuk dedaunan di puncak gunung. Dia menghentikan aliran air di lembah-lembah, ikut mematikan biota air dan biota dalam tanah. Dia menyesakkan nafas manusia kala dibakar. Maka, di sini plastik menjelma jadi petaka dan bencana bagi manusia. Hari ini, gaya hidup dan cara pandang terhadap plastik harus diubah sejak dini. Kalau tidak, kita akan mengalami kiamat plastik. Satu bahan yang amat sulit terurai di permukaan bumi. Bahkan plastik bisa menenggelamkan sebuah kota beradab. Alhasil, plastik mampu menenggelamkan sebuah peradaban.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook