DUA ratus hari dalam setahun tak boleh berhubungan intim dalam
lembaga pernikahan yang sah. Inilah Georgia, sebuah negeri dalam
Federasi Sovyet dulu. Nama tua negeri ini adalah Grusini (semasa
kerajaan), sedangkan lidah Arab menyebutnya sebagai al-Jurjaniyah
(Georgia). Banyak tokoh besar dan pelaku mistisme agama yang lahir dan
besar di tanah ini. Dan Presi den Rusia pertama setelah runtuhnya Uni
Sovyet adalah seorang kelahiran dan bangsa Georgia bernama Edward
Shervanadze yang sebelumnya pernah memangku sebagai Menteri Luar Negeri
Uni Sovyet yang perkasa itu.
Georgia adalah negeri dengan keperkasaan Patriarch (imam) lelaki dalam tradisi Gereja Ortodoks. Negeri ini amat puritan dalam ihwal seks dan kehidupan rumah tangga. Mereka mendakukan diri sebagai “bangsa di Timur”, yang tak terserbuk oleh kebebasan gaya hidup Barat. Bagi sebagian besar orang Gerogia akan berkata lantang tentang ihwal ini: “Kalian orang Barat! Kalian tak memili ki nilai-nilai kekeluargaan. Kami di Georgia selalu menjaga tradisi kami. Kalian seharusnya mencontoh kami” (sedutan dari Theisen).
Tarik-menarik
pengaruh antara Moskwa dan Teheran (secara geografis), menjadikan
Georgia sebagai wilayah nan eksotik sekaligus ortodoks (terutama dalam
fashion pakaian). Orang-orang boleh berkata; “semakin miskin sebuah
negeri, semakin rajin rakyatnya mengunjungi gereja”. Tapi lain ihwalnya
dengan Georgia. Baru-baru ini, dalam sebuah penerbang an, saya sebaris
duduk dengan seorang perempuan anggun, dari penampilannya terkesan amat
terdidik dan terhormat. Dari garbarata menuju jidat pesawat saya
menyapa dia dalam bahasa Inggris. Lalu saya bertanya mau ke mana? Dan
berasal dari negara mana? Dia menjawab dari Jerman (warga Jerman).
“Oouuu… Wir sprachen Deutsch!”, ujar saya bangga. “Sprachen Sie
Deutsch?”. Tanya dia singkat. Ja, Ich kann (Deutsch sprachen)”, jawab
saya.
Lalu berjujailah kisah dalam kerimbunan Jerman sepanjang perjalanan itu. Diikuti tukar kartu nama (walau saya tak pernah punya; ini juga sebuah identitas saya). Dari namanya, saya lalu ajak diskusi; “Anda tidak asli Jerman khan? Nama Anda agak Timur”, tanya saya singkat. “Ya, saya orang Rusia jawab dia. Dan Bapak tau saja, karena Bapak pernah ke Jerman dan tinggal di sana”, ujar dia. “Ya, saya pernah di Berlin, Muenchen, Frankfurt am Main dan Dusseldorf, jawab saya lagi”. Lalu…? Ya, kisah Grusini dan kawin culik.
Orang Georgia adalah
orang yang patuh dan rajin ke Gereja. Dan Gereja pula yang mengharuskan
cara berpantang dalam ihwal seks dan tata lembaga perkawinan. Pantang
an berhubungan intim suami isteri pada hari Rabu, karena pada hari
itulah Yesus dikhianati Yudas. Pantang juga melakukan hubungan seks pada
hari Jumat, karena pada hari ini dalam keyakinan mereka, Yesus disalib.
Seks dilarang di masa-masa puasa, yaitu 48 hari menjelang hari Paskah
(Pinksteren dag), juga pada puasa berikutnya, ketika Maria naik ke Surga
di bulan Agustus, selama masa Advent yaitu sepanjang bulan Desember,
juga tabu berhubungan intim. Walhasil? Tersisa sekitar 100 hari lebih
orang Georgia bisa berhubungan suami isteri.
Demikian pula ihwal keperawanan. Isu ini adalah isu kudus. Sebagian besar gadis Georgia (89 %) ketika menaiki jenjang pelaminan dalam keadaan perawan. Cewek Georgia terkesan puritan namun jelita. Saking mulia dan kudusnya status keperawanan, banyak tumbuh klinik pemulihan hymen keperawanan di kota-kota besar Georgia. Nama negeri ini didedikasikan kepada seorang suci bernama Santo George.
Sepasang kekasih di negeri Melayu,
dulu kala, kerap kita dengar kisah “kawin lari”. Dua sejoli yang
dimabuk cinta, namun salah satu pihak keluarga tak setuju. Dua sejoli
ini akan membuat keputusan melalui cara “kawin lari”. Diam-diam
meninggalkan rumah dan menikah di daerah lain, kam pung lain atau di
kampung sendiri tanpa kehadiran pihak keluarga. Waw… lain lagi di
Georgia, kisah perkawinan di kota-kota kecil dan desa dulu kala di
Georgia, masih berhias serangkaian kisah “menculik perawan” (kawin
culik). Ihwal ini tak terjadi di kota metropolitan seperti Tbilisi.