PERISA YUSMAR YUSUF

Grusini: Secuil Seks

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 00:18 WIB

DUA ratus hari dalam setahun tak boleh berhubungan intim dalam lembaga pernikahan yang sah. Inilah Georgia, sebuah negeri dalam Federasi Sovyet dulu. Nama tua negeri ini adalah Grusini (semasa kerajaan), sedangkan lidah Arab menyebutnya sebagai al-Jurjaniyah (Georgia). Banyak tokoh besar dan pelaku mistisme agama yang lahir dan besar di tanah ini. Dan Presi den Rusia pertama setelah runtuhnya Uni Sovyet adalah seorang kelahiran dan bangsa Georgia bernama Edward Shervanadze yang sebelumnya pernah memangku sebagai Menteri Luar Negeri Uni Sovyet yang perkasa itu.

Georgia adalah negeri dengan keperkasaan Patriarch (imam) lelaki dalam tradisi Gereja Ortodoks. Negeri ini amat puritan dalam ihwal seks dan kehidupan rumah tangga. Mereka mendakukan diri sebagai “bangsa di Timur”, yang tak terserbuk oleh kebebasan gaya hidup Barat.   Bagi sebagian besar orang Gerogia akan berkata lantang tentang ihwal ini: “Kalian orang Barat! Kalian tak memili ki nilai-nilai kekeluargaan. Kami di Georgia selalu menjaga tradisi kami. Kalian seharusnya mencontoh kami” (sedutan dari Theisen).


Tarik-menarik pengaruh antara Moskwa dan Teheran (secara geografis), menjadikan Georgia sebagai wilayah nan eksotik sekaligus ortodoks (terutama dalam fashion pakaian). Orang-orang boleh berkata; “semakin miskin sebuah negeri, semakin rajin rakyatnya mengunjungi gereja”. Tapi lain ihwalnya dengan Georgia. Baru-baru ini, dalam sebuah penerbang an, saya sebaris duduk dengan seorang perempuan  anggun, dari penampilannya terkesan amat terdidik dan terhormat. Dari garbarata menuju jidat pesawat saya menyapa dia dalam bahasa Inggris. Lalu saya bertanya mau ke mana? Dan berasal dari negara mana? Dia menjawab dari Jerman (warga Jerman). “Oouuu… Wir sprachen Deutsch!”, ujar saya bangga. “Sprachen Sie Deutsch?”. Tanya dia singkat. Ja, Ich kann (Deutsch sprachen)”, jawab saya.

Lalu berjujailah kisah dalam kerimbunan Jerman sepanjang perjalanan itu. Diikuti tukar kartu nama (walau saya tak pernah punya; ini juga sebuah identitas saya). Dari namanya, saya lalu ajak diskusi; “Anda tidak asli Jerman khan? Nama Anda agak Timur”, tanya saya singkat. “Ya, saya orang Rusia jawab dia. Dan Bapak tau saja, karena Bapak pernah ke Jerman dan tinggal di  sana”, ujar dia. “Ya, saya pernah di Berlin, Muenchen, Frankfurt am Main dan Dusseldorf, jawab saya lagi”. Lalu…? Ya, kisah Grusini dan kawin culik.


Orang Georgia adalah orang yang patuh dan rajin ke Gereja. Dan Gereja pula yang mengharuskan cara berpantang dalam ihwal seks  dan tata lembaga perkawinan. Pantang an berhubungan intim suami isteri pada hari Rabu, karena pada hari itulah Yesus dikhianati Yudas. Pantang juga melakukan hubungan seks pada hari Jumat, karena pada hari ini dalam keyakinan mereka, Yesus disalib. Seks dilarang di masa-masa puasa, yaitu 48 hari menjelang hari Paskah (Pinksteren dag), juga pada puasa berikutnya, ketika Maria naik ke Surga di bulan Agustus, selama masa Advent yaitu sepanjang bulan Desember, juga tabu berhubungan intim. Walhasil? Tersisa sekitar 100 hari lebih orang Georgia bisa berhubungan suami isteri.

Demikian pula ihwal keperawanan. Isu ini adalah isu kudus. Sebagian besar gadis Georgia (89 %) ketika menaiki jenjang pelaminan dalam keadaan perawan. Cewek Georgia terkesan puritan namun jelita. Saking mulia dan kudusnya status keperawanan, banyak tumbuh klinik pemulihan hymen keperawanan di kota-kota besar Georgia. Nama negeri ini didedikasikan kepada seorang suci bernama Santo George.

Sepasang kekasih di negeri Melayu, dulu kala, kerap kita dengar kisah “kawin lari”. Dua sejoli yang dimabuk cinta, namun salah satu pihak keluarga tak setuju. Dua sejoli ini akan membuat keputusan melalui cara “kawin lari”. Diam-diam meninggalkan rumah dan menikah di daerah lain, kam pung lain atau di kampung sendiri tanpa kehadiran pihak keluarga. Waw… lain lagi di Georgia, kisah perkawinan di kota-kota kecil dan desa dulu kala di Georgia, masih berhias serangkaian kisah “menculik perawan” (kawin culik). Ihwal ini tak terjadi di kota metropolitan seperti Tbilisi.










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook