ESAI : MUHAMMAD HUSEIN HEIKAL

Absurditas Makna Metafora Malna

Seni Budaya | Minggu, 31 Januari 2016 - 11:36 WIB

Absurditas Makna Metafora Malna
internet

Beberapa gaya penulisan puisi yang dilakoninya relatif berubah-ubah. Kadang ber-serum surealisme, realisme, postmodernisme, ilusionisme atau bahkan cenderung nihilisme. Walau dari berbagai perubahan gaya ini, puisi Malna selalu identik dengan metafora yang ia baurkan dengan beberapa simbol dan angka. Uniknya, pembauran ini sering terjadi ketidaklogisan. Seperti: 25 tahun sebuah bayangan; 1 kg = 20 usd; 15.45 satu koper ditelan perut pesawat; 200 tahun berputar ke belakang. Kemungkinan besar inilah yang disebutnya sebagai “aku ingin tersesat dalam sebuah renovasi waktu”. Tentu, kata-kata yang diaduk dengan angka diatas tidak dapat diartikan. Nah, disinilah absurditas makna dalam karyanya terwujud. Sampai kapan pun dilakukan penelusuran atau pengkajian arti 25 tahun sebuah bayangan tidak akan ditemukan kesesuaian. 25 tahun lumrah digunakan sebagai penyebutan umur, namun “sesuatu” yang berumur itu adalah sebuah bayangan. Bukankah tidak ada pemecahan hal ini?

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran, puisi Malna yang mempetemukan kita dengan angka menjadi gejala yang tidak pernah selesai. Hanya kita tidak perlu memusingkan hal itu, sebab ia menulis dalam konteks kontemporer yang menjujung tinggi kebebasan, tak terbatas pada apa pun yang dihasilkannya. Di sebuah esainya Malna menulis: Saya melihat puisi bukan lagi masalah bentuk, bahkan juga bukan masalah sastra. Ia lebih sebuah agenda tubuh dengan ruang yang bekerja melalui kata; melibatkan perspektif seni yang lebih luas dari sekadar sastra dan bahasa. (Kompas, 17 Maret 2013).

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

Dibalik motif metafor, ia menyelubungi “pengkajian yang tiada habis” diintinya. Apa ini dampak dari filsafat yang pernah diperdalamnya dibangku formal. Atau hanya sebagai pernyataan “kegelisahan” yang ia baringkan pada pengkajian ilmu filsafat. Kemungkinan besar Malna terpengaruh pada filsafat fenomenologis, dengan tokoh Edmund Husserl. Fenomenolog Jerman ini senantiasa membayangkan adanya suatu kebenaran ilmiah yang terdiri atas beragam objek yang satu sama lain mencerminkan keutuhan dan kepaduan seperti layaknya sebuah geometri (angka). Hanya saja, puisi Malna lebih mencerminkan “geometri ruang imajiner” di mana setiap kata atau angka memberi ruang gerak bagi metafornya.

Demikianlah, cita rasa larik-larik figuratif yang ditoreh Malna memerangkap kita pada petualangan dunia kata-kata yang tiada habisnya. Malna tak sekedar menghantamkan kita pada ketidaklogisan arti, tapi juga menghujamkan kita dalam absurditas makna puisinya, Seolah dengan hanya memberi sepotong clue, kita seakan diajak menerobos labirin yang mengandung esensi tersendiri didalamnya.

Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, USU. Karyanya termuat di, Analisa, Waspada, Riau Pos, Medan Bisnis, Horison dan beberapa media online.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook