ESAI : MUHAMMAD HUSEIN HEIKAL

Absurditas Makna Metafora Malna

Seni Budaya | Minggu, 31 Januari 2016 - 11:36 WIB

Absurditas Makna Metafora Malna
internet

kami sedang berjalan ke rumahnya. seraya berjalan ke rumahnya kami mencari alamatnya. antara kata “rumah” dan “alamat” ada masalah dengan kata ganti “nya”. sebuah tempat tak tersentuh dalam bahasa. mungkin kita bisa mencium bau ladang jagung di balik kata ganti ini. lupakan tata-bahasa. alamatnya ada di sana, ketika kita mulai mencium bau jagung di pagi hari.

 (“der platz”, Afrizal Malna, Kompas, 15 November 2015)

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

AFRIZAL MALNA, seorang penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dengan latar belakang pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta. Serta tampak jelas dari karya-karya (terlebih puisi) ia sangat berminat pada ilmu berbasis filsafat. Malna tumbuh sebagai penyair sejak awal 1980-an. Ia termasuk salah satu penyair yang dengan intens membuat puisi bagaikan melukis dengan kata-kata.

Identitas puisinya kontemporer dengan segala kompleksitas yang kadangkala dilandasi nilai absurditas. Sejumlah puisinya terkumpul dalam Abad Yang Berlari (1984), Mitos-mitos Kecemasan (1985), Yang Berdim dalam Mikrofon (1990), Arsitektur Hujan (1996, mendapat hadiah dari Pusat Bahasa RI), Kalung dari Teman (1999), Sesuatu Indonesia (2000), Museum Penghancur Dokumen (2013). Terakhir yang terbaru yaitu Berlin Proposal yang terbit di tahun 2015 ini. Ditulisnya saat ia tengah mengikuti sebuah program residensi di Berlin, Jerman.

Sejak buku kumpulan puisi Arsitektur Hujan, sudah tampak kecenderungan penyair ini untuk “melukis” melalui struktur kata dengan logika bahasa yang tak biasa. Bahkan pada bagian akhir buku ini terdapat sebuah indeks yang mengingatkan kita dengan dunia lukisan. Di sana Malna berusaha menorehkan lukisan kata-kata dengan mengambil spirit wastu, juga seni rupa. Sedangkan dari segi tema, puisi-puisinya kebanyakan menampilkan kegagapan berbahasa.

Bahkan beberapa sajak cenderung menggunakan apa yang oleh Sitok Srengenge pernah disebut sebagai “logika sungsang”. Sitok mengambil contoh puisi Malna, berjudul Lemari. Dalam puisi ini Malna berkali-kali membolak-balik logika berbahasa dengan memasukkan kata-kata benda sebagai pengganti. Tak heran kalau bahasanya menjadi rancu, bahkan terkadang salah diterjemahkan sebagai bentuk hiperrealitas, entah disengaja atau memang tidak tahu. (Asarpin, 2010).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook