Alexievich melihat fenomena dengan kacamata seorang jurnalis wanita, sambil menghimpun data dan fakta yang akurat, kemudian dituangkan ke dalam esai yang membangkitkan gelora emansipasi dan kesadaran rakyat Belarusia. Hampir serupa dengan cara kerja penghimpunan data dari seorang tokoh Erin Brockovich dalam film garapan Steven Soderbergh. Tak urung film yang sarat keberanian untuk menggugat perusahaan raksasa yang membuang limbah sembarangan itu menyabet beberapa piala Oscar, terutama untuk aktris wanita terbaik yang diperankan Julia Roberts.
Karena keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran, Alexievich pernah beberapa kali terancam keselamatannya hingga terpaksa harus hidup di pengasingan selama sepuluh tahun lebih (Italia, Prancis dan Jerman) sampai kemudian ia pun pulang ke Kota Minsk, Belarusia. Karya-karyanya banyak tertuang dalam koran-koran lokal, bahkan karyanya yang terkenal setelah bertahun-tahun menghimpun data korban perang dunia II (War’s Unwomenly Face) baru diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1988. Padahal karya tersebut sudah terpublikasikan secara terbatas, dan memang tak pernah diakui oleh pemerintahan lokal di negerinya sejak tahun 1985.
Dalam War’s Unwomenly Face secara eksplisit dijelaskan bahwa korban-koban perang dunia II tak lain dari kaum lemah dan tak berdaya, di antaranya para wanita dan anak-anak, yang secara struktural belum terangkat nasib hidupnya di suatu era yang dinamakan post-modern ini. Ribuan korban perang di tempat pengungsian berhasil diwawancarai, hingga kemudian didokumentasi dengan baik, layaknya pekerjaan penulis buku “Pikiran Orang Indonesia” yang berhasil mewawancarai para tapol yang di penjara tanpa proses pengadilan di masa Orde Baru dulu.
Saat ini, karena penguasa dan pengambil kebijakan publik — baik lokal maupun nasional — terlampau sibuk mementingkan urusan pribadinya dalam mengejar target kekuasaan, kekayaan dan popularitas, nasib ribuan tapol di negeri ini pun belum sempat direhabilitasi. Biaya politik untuk melanggengkan status quo sangat tidak sebanding dengan biaya ekonomi untuk mengangkat harkat dan martabat mereka dari keterpurukan zaman akibat perang yang dikobarkan para penguasa yang notabene diselenggarakan kaum lelaki.
Di sinilah peran dan tanggung jawab semua pihak, terutama kalangan intelektual untuk menyuarakan fenomena yang terjadi, serta pengangkatan harkat dan martabat ke taraf yang lebih memanusiawikan manusia. Bahwa kemudian Alexievich memboyong uang senilai 15 milyar dari penganugerahan nobel, hal itu adalah keniscayaan sejarah atas dedikasi dan kreativitasnya yang cemerlang. Meskipun di masa-masa aktifnya sebagai penulis di koran-koran lokal, ia hanyalah wartawati yang penghidupannya relatif kekurangan, hingga sempat menjadi guru untuk biaya tambahan bagi keluarganya. Namun pada akhirnya Tuhan menjanjikan kesuksesan itu bagi siapapun yang berjuang dan istiqomah di jalan kebenaran dan keadilan. (*)
Indah Noviariesta, (alumni Untirta Banten dan aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa)