Kalangan jurnalis patut bersyukur atas kemenangan seorang jurnalis wanita asal Belarusia yang meraih hadiah nobel di bidang kesusastraan beberapa waktu lalu. Namanya agak asing bagi sebagian jurnalis Indonesia, yakni Svetlana Alexievich, seorang wanita yang esai-esainya dikenal berani dalam menyuarakan ketimpangan dan ketidakseimbangan kosmik dalam tata dunia modern ini. Beberapa tahun lalu (2013) seorang cerpenis wanita asal Kanada, Alice Munro juga dianugerahi nobel kesusastraan. Meskipun perlu diakui bahwa dari 111 laki-laki peraih nobel sastra, jumlah wanita memang baru mencapai angka 14 orang sejak pertama kali diturunkan penghargaan tersebut pada tahun 1901.
Krisis kemanusiaan yang melanda manusia modern adalah pengamatan paling menarik dalam esai-esai Alexievich, dia pun memiliki dokumentasi yang akurat pasca peristiwa bocornya reaktor nuklir Chernobyl di Belarusia pada tahun 1986 lalu. Esai-esainya dikenal sangat menggugah imajinasi dan cita-rasa berpikir hingga membangkitkan orang pada kepekaan dan kepedulian terhadap nasib anak-anak manusia di zaman post industrial ini.
Masih sehaluan dengan karya-karya sastra hasil gubahan wanita asal Chili, Gabriela Mistral yang sering menampilkan sisi-sisi gelap kapitalisme dari sudut pandang antropologis, hingga ia tergolong sastrawati yang sangat dihormati bangsa-bangsa Amerika Latin. Bahkan Presiden Allende pernah menawarkan kewenangan khusus kepada sastrawati ini, dengan mempersilakannya membuka konsulat kebudayaan di negeri manapun, atas biaya pemerintahan Chili.
Berbeda dengan jenis sastra absurditas yang berkembang di Eropa pasca perang dunia pertama, Alexievich mengetuk hati dan kepedulian manusia akan rasa tanggung jawabnya kepada nilai-nilai kemanusiaan, yang justru dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Salah satu penggerak hak asasi manusia yang juga pernah dianugerahi nobel tak lain adalah Winston Churchill (1953) yang pada waktu itu sangat dikenal dengan artikel-artikelnya yang sarat imajinasi di koran-koran Inggris. Di sini lagi-lagi kita dibangunkan oleh kenyataan bahwa para jurnalis dan wartawan rupanya masih sehaluan dengan karya-karya sastrawan, bahwa di abad transformasi ini, perbedaan karya sastra dengan esai hanyalah soal teknis pengungkapan saja. Kini dunia sastra pun tak terlampau membatasi diri dalam penceritaan suatu riwayat yang dikarang, tetapi sekaligus mengartikan realitas kehidupan, serta menyoroti kebudayaan dan kelembagaan, membandingkan citra dunia dengan tetap memanfaatkan simbol dan alegori.